•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
📝 Transkrip Materi BINAR Pekan 17
🎧 Pengisi Materi :: Ustadz Abu Razin
📚 Dars 37 :: Bab An Nawaasikh
°°Zhonna dan Saudaranya°°
⌛ Durasi audio : 22:04 menit
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله و صحبه ومن والاه, أما بعد.
Alhamdulillah kita lanjutkan kembali pelajaran kita dari Kitab Al Mumti’ Fii Syahril Ajurrumiyyah, dan kita telah sampai pada pembahasan ظَنَّ وَ أَخَوَاتُهَا zonna dan saudara2 nya di halaman 113
3⃣ثَالِثًا: ظَنَّ وَ أَخَوَاتُهَا:
Ketiga dari amil nawasih.
Kita telah pelajari aamil nawasih ada 3 kelompok:
1. Kana dan saudaranya. Dimana kanna dan saudaranya ini. Merofakan isim dan menashabkan khabar
Contoh :
كان زيد عالما
2. Inna dan saudaranya, dimana inna dan saudaranya ini
تنصب الاسم و ترفعل الخبر
menashabkan isim dan merofakan khabar
3. Zhonna dan saudara-saudaranya, dimana dzonna dan saudaranya ini
تَنْصِبُ المُبْتَدَأَ وَ الخَبَرَ
menashobkan mubtada dan khabar.
Artinya kedua-duanya di nashobkan.
قَالَ المُصَنِّفُ: (وَ أَمَّا ظَنَنْتُ وَ أَخَوَاتُهَا : فَإِنَّهَا تَنْصِبُ المُبْتَدَأَ وَ الخَبَرَ عَلَى أَنَّهُمَا مَفْعُوَلَانِ لَهَا،
Berkata pengarang kitab al ajurrumiyyah (Ibnu Aajurrum Ash-Shonhajiy) *adapun dzonantu dan saudara-saudaranya maka ia menashobkan mubtada dan khobar karena keduanya adalah maf'ul baginya.*
Jadi mubtada dan khabar dalam kalimat ظَنَنْتُ وَ أَخَوَاتهَا menjadi maful awal/pertama dan maful ke dua dari ظَنَّتُ dan saudara2 nya.
Jadi istilah yang di gunakan:
➡ untuk kanna dan inna ada istilah isimnya kanna dan isim nya inna. Ada istilah khabar nya kanna dan khabar nya inna.
Tapi zonantu istilah nya bukan lagi isim dan khabar tapi maf'ul awal dan maf'ul tsani. Karena kedua2 nya di manshubkan, dimana yang pertama adalah maf'ul awal/pertama dan yg ke dua maf'ul tsani/kedua.
وَهِيَ: Yaitu
ظَنَنْتُ، وَحَسِبْتُ، وَخِلْتُ، وَزَعَمْتُ، وَرَأَيْتُ، وَعَلِمْتُ، وَوَجَدْتُ، وَاتَّخَذْتُ، وَجَعَلْتُ، وَسَمِعْتُ
تَقُوْلُ: kamu katakan
💧 ظَنُنْتُ زَيْدًا مُنْطَلِقًا
"Aku menyangka Zaid ini pergi".
💧وَخِلْتُ عَمْرًا شَاخِصًا،
"Dan aku menyangka Amr hadir".
وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَqqq
Dan contoh-contoh seperti ini.
الشَّرْحُ : Penjelasan
ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ النَّوْعَ الثَّالِثَ مِنَ النَّوَاسِخِ :
وَهِيَ : ظَنَّ، وَ حَسِبَ، وَ خَالَ، وَ زَعَمَ، وَ رَأَى، وَ عَلِمَ، وَ وَجَدَ، وَ اتَّخَذَ، وَ جَعَلَ.
Mushannif rahimmallahu ta'ala menyebutkan macam yg ketiga dari aamil nawasikh.
💫ظَنَّ، Menyangka
💫حَسِبَ، Menyangka
💫خَالَ، Menyangka
💫زَعَمَ، Menyangka
💫رَأَى، Menyakini
Ro-aa artinya lebih kuat dari ظَنَّ، حَسِبَ، خَالَ، وَ زَعَمَ, karena ro-aa berfaidah "yakin".
💫عَلِمَ، Mengetahui
Ini juga berfaidah "yakin".
💫وَوَجَدَ، Mendapati
💫اتَّخَذَ، Mengambil
💫جَعَلَ Menjadikan
*عَمَلُهَا : Fungsinya*
تَنْصِبُ الْاِسْمَ وَالْخَبَرَ عَلَى أَنَّهُمَا مَفْعُوْلَانِ لَهَا
*Yaitu menashabkan isim dan khabar karena keduanya maf'ul baginya.*
Jadi kalau ظن وأخواتها istilahnya maful awwal dan maf'ul tsani.
مِثَالُهَا : ظَنَنْتُ زَيْدًا مُنْطَلِقًا
Contohnya :
🔳 "Saya mengira zaid adalah orang yang menceraikan."
إِعْرَابُهُ :
ظَنَنْتُ : فِعْلٌ مَاضٍ نَاسِخٌ،
وَالتَّاءُ : ضَمِيْرٌ مُتَّصِلٌ فِيْ مَحَلِّ رَفْعٍ فَاعِلٌ .
زَيْدًا : مَفْعُوْلٌ بِهِ أَوَّلٌ مَنْصُوْبٌ ، مُنْطَلِقًا : مَفْعُوْلٌ بِه ثَانٍ مَنْصُوْبٌ .
Q
Jadi kalimat ظَنَنْتُ زَيْدًا مُنْطَلِقًا
ini kan dua2 nya manshub. زَيْدًا sebagai maf'ul awwal atau istilahnya maful bih awwal, kemudian مُنْطَلِقًا maful bih kedua di nashobkan
Jadi dzonnantu dan saudaranya tidak ada istilah isim dan khabar. Yang ada istilah maful bih awwal dan maful bih tsani.
وَظَنَّ وَأَخَوَاتُهَا عَلَى ثَلاَثَةِ أَنْوَاعِ :
*Zhonna(ظَنَّ)dan saudara-saudaranya ini terbagi lagi menjadi 3 kelompok:*
☂أَفْعَالٍ تُفِيْدُ الظَّنَّ : وَهِيَ : ظَنَّ ، وَحَسِبَ ، وَخَالَ ، وَزَعَمَ .
1⃣Fi'il -fi'il yang berfaedah sebagai persangkaan(ظَنَّ), jadi ظَنَّ ini masih belum yakin, masih persangkaan.
Dari sini kita juga mengetahui kanna itu semua adalah fiil naqis dan inna seluruh nya huruf. Adapun zonna dan saudaranya semua nya fiil. Lebih khusus lagi fiil-fiil yg membutuhkan 2 maf'ul bih.
Untuk ظَنَّ ، وَحَسِبَ ، وَخَالَ ، وَزَعَمَ ini semua masih bersifat persangkaan.
ظَنَّ : نَحْوُ : ظَنَنْتُ الفَجْرَ قَرِيْبًا.
zhonna: contoh :
🔳 "Saya menyangka waktu fajar dekat"
.وَ حَسِبَ : نَحْوُ : حَسِبْتُ العَمَلَ شَاقًا
dan hasiba: contoh :
🔳 "Saya menyangka pekerjaan itu berat"
وَ خَالَ : نَحْوُ : خِلْتُ الشَّجَرَةَ مُثْمِرَةً .
dan khoola : contoh:
🔳 "Saya menyangka/ membayangkan pohon itu berbuah"
وَ زَعَمَ : نَحْوُ : زَعَمْتُ السَّفَرَ سَهْلاً .
dan za'ama : contoh :
🔳 "Saya menyangka shafar/ perjalanan itu mudah"
☂ وَ أَفْعَالٍ تُفِيْدُ اليَقِيْنَ : وَهِيَ : رَأَى، وَعَلِمَ، وَوَجَدَ.
2⃣ Dan fiil-fiil yang memiliki faidah untuk menyatakan keyakinan
رَأَى : نَحْوُ : رَأَيْتُ الحَقَّ مُنْتَصِرًا .
Ro-a = melihat : contoh :
🔳 "Saya melihat/berpendapat/menyakini bahwa kebenaran itu pasti menang."
وَ عَلِمَ :نَحـْوُ :عَلِمْتُ الصَّدْقَ مُنَجِّيًا .
dan mengetahui(عَلِمَ) : contoh :
🔳 "Saya mengetahui/menyakini bahwa kejujuran itu menyelamatkan."
وَ وَجَدَ : نَحْوُ : وَجَدْتُّ الصَّلاَحَ سِرَّ النَّجَاحِ .
dan'mendapati'(وَجَدَ) : contoh :
🔳 "Saya mendapati/menyakini kebaikan itu adalah rahasia kesuksesan."
Kelompok ketiga :
☂وَ أَفْعَالٍ تُفِيْدُ التَحْوِيلَ وَ التَّصْيِيرَ: وَ هِيَ: اتَّخَذَ، وَ جَعَلَ .
3⃣ dan fiil- fiil yang berfaedah untuk tahwiil (mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang lain) dan tashyiir (merubah sesuatu dr satu bentuk kebentuk yg lain)
اتَّخَذَ: نَحْوُ: اتَخَذْتُ الأَمِينَ صَاحِباً
Ittakhada = mengambil: contoh:
🔳 "Aku mengambil seorang yg jujur sebagai teman dekat."
وَجَعَلَ: نَحْوُ: جَعَلْتُ الخَشَبَ باَباً
dan ja’ala = menjadikan : contoh :
🔳 "Saya menjadikan kayu itu menjadi pintu."
وَ عَدَّ ابِنُ آجُرُّومَ مِنْ هَذِهِ الأَفْعَالِ النَاصِبَةِ لِلمُبْتَدَإِ وَ الخَبَرِ (سَمِعْتُ) تَبْعَاً لِبَعضِ النَّحْوِيِّينَ ، نَحْوُ: سَمِعْتُ زَيْدًا يَقُولُ. وَ هُوَ رَأْيٌ ضَعِيفٌ،
Dan Ibnu Ajurrum, dia mengganggap diantara fiil-fiil yang menashabkan mubtada dan khabar ini سَمِعْتُ.
Jadi tadi disebutkan dalam kitab Aajurrumiyyah diantara saudaranya dzonna itu salah satunya adalah سَمِعْتُ.
Kenapa Ibnu Ajurrum menganggap سَمِعْتُ ini menashobkan mubtada dan khobar ?
Karena تَبْعَاً لِبَعضِ النَّحْوِيِّينَ dia mengikuti pendapat sebahagian pendapat ulama nahwu.
Contohnya:
سَمِعْتُ زَيْدًا يَقُولُ
🔳 "Saya mendengar si zaid sedang berkata"
وهو رَأيٌ ضئيفٌ
Dan itu merupakan pendapat yg lemah menurut pengarang kitab al mumti'. Menjadikan سَمِعْتُ sebagai teman nya zonna ini *keliru*. Karena ini pendapat yg lemah.
وَالمُعْتَمَدُ عِنْدَ الجُمهُورِ أَنَّ جَمِيعَ أَفْعاَلِ الحَوَاسِّ الَّتِي هِىَ : سَمِعَ، وَ ذَاقَ، وَ أَبْصَرَ، وَ لَمِسَ، وَشَمَّ، لاَ تَتَعَدَّى إِلاَّ إِلَى مَفْعُولٍ وَاحِدٍ .(١)
Dan yang dianggap pendapat yg terpilih disisi ulama jumhur bahwasannya seluruh fiil indrawi (fiil-fiil indra yg 5 itu yaitu mendengar, merasakan, melihat, meraba, mencium) tidak lah membutuhkan maf'ul kecuali hanya kepada satu maf'ul saja.
Jadi menurut al mumti' dan ini memang menurut pendapat yg lebih mendekati kebenaran, bahwa سَمِعْتُ tidaklah termasuk saudaranya dzonna.
Karena dalam kalimat سَمِعْتُ زَيْدًا يَقُولُ. Yaqulu disitu lebih cocok sebagai Haal bukan sebagai maf'ul bih tsani.
سَمِعْتُ زَيْدًا يَقُول
Yaquulu lebih cocok sebagai haal.
Ini bantahan bagi yang menganggap bahwasanya سمع disitu hanya membutuhkan satu maf'ul.
Karena kalimat سَمِعْتُ زَيْدًا يَقُول yaquulunya dia tidak berfaidah sebagai maf'ul bih yang kedua tapi sebagai haal.
١- يُنْظَرُ : المُتَمِّمَةُ مَعَ الكَوَاكِبِ (١/١٣٢) وَ شَرْحُ الْكَفْرَاوِي ص (١٠٢ - ١٠٣)
Bisa dilihat: di kitab al mutammimah dan al Kawakib (1/321) dan syarhu kafrawiy halaman (102 – 103)
============================
فَوَائِدُ وَ تَنْبِيْهَاتٌ :
*Faidah faidah dan Catatan Penting:*
١ - غَيْرُ المَاضِي مِنْ (ظَنَّ وَ أَخَوَاتِهَا ) يَعْمَلُ عَمَلَ المَاضِي،
🌻1. Selain fiil madhi dari ظَنَّ dan saudara2 nya itu beramal seperti amalnya fiil madhi.
Maksud nya baik fiil madhi ظَنَّ ataupun tasrifan nya يَظُنُّ dan seterusnya itu juga beramal seperti zonna yaitu تَنْصِبُ المُبْتَدَأَ وَ الخَبَرَ
نَحْوُ قَوْلهِ تَعَالَى:
Contoh nya: Firman Allah Ta'ala:
وَ مَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَآئِمَةً
"Dan tidaklah aku menyangka bahwa hari kiamat itu akan terjadi".
وَقَوْلُهُ تَعَالَى: وَ نَرَاهُ قَرِيْبًا
"Dan kami melihatnya dekat".
Ini contoh yang membuktikan bahwa turunan dari zhonna dalam ayat ini أَظُنُّ fiil mudhari dan kedalam dalam ayat ke dua وَ نَرَاهُ قَرِيْبًا juga fiil mudhari dhomir nahnu, ini juga sama saudaranya zhonna dimana mereka تَنْصِبُ المُبْتَدَأَ وَ الخَبَرَ menashabkan mubtada dan khabar.
٢ - المَفْعُوْلُ الثَّاني: هُوَ فِي الأصْلِ خَبَرُ المُبْتَدَإ فَهُوَ يَأْتي مُفْرَدًا نَحْوُ : رَأَيْتُ العِلْمَ نَافعًا، وَ جُمْلَةً, نَحْوُ : رَأَيْتُ الذُّنُوْبَ تُمِيْتُ
القُلُوْبَ، وَ شِبْهَ الجُمـلَةِ نَحْوُ قَولِهِ تَعَالَى: (وَ جَعَلَ مِنْهُمُ القِرَدَةَ وَ الخَنَازِيْرَ)
🌻2. Maf’ul yang kedua dia itu pada asalnya adalah khabar mubtada’.
🔹 Mubtada dan kabar terkadang datang dalam keadaan mufrad.
contohnya: رَأَيْتُ العِلْمَ نَافِعًا
🔳 "Saya menyakini/berpendapat bahwasanya ilmu itu bermanfaat,"
Asalnya : aliilmu naafi'un
Mubtada dan khabarnya yg mufrad.
🔹Dan terkadang khabarnya ini jumlah.
Contohnya:
رَأَيْتُ الذُّنُوْبَ تُمِيْتُ القُلُوْبَ
🔳 "Saya berpendapat/ melihat dosa dosa itu mematikan hati."
Maka disini asalnya :
أَ الذُّنُوْبُ تُمِيْتُ القُلُوْبَ
"Dosa itu mematikan hati".
Dimana تُمِيْتُ القُلُوْبَ merupakan jumlah fiilliyyah menjadi khabar.
🔹 Dan yang ketiga bisa juga khabarnya ini shahibul jumlah.
نَحْوُ قَولِهِ تَعَالَى:
Contoh nya firman Allah Ta'ala:
وَ جَعَلَ مِنْهُمُ القِرَدَةَ وَ الخَنَازِيْرَ
"Dan Allah menjadikan sebahagian mereka kera dan babi".
Disini yg menjadi syahid adalah مِنْهُمُ dimana minhum jar majrur menjadi khabar.
Tapi kalau kalimatnya
جَعَلَ مِنْهُمُ القِرَدَةَ وَ الخَنَازِيْرَ
القِرَدَةَ sebagai maful bih Awwal
مِنْهُمُ jar majrur sebagai maf'ul bih tsaani
٣- قَدْ تَرُدُّ (ظَنَّ) لِلْيَقِيْنِ، نَحْوُ قَوْلِهِ تَعَالَى : ﴿ إِنِّي ظّنَنْتُ أَنِّي مُلَٰقٍ حِسَابِيَهْ﴾، فَ(ظَنَنْتُ) فِعْلٌ مَاضٍ مَعْنَاهُ اليَقِيْنُ، وَالتَّاءُ فَاعِلٌ، وَأَنَّ وَ مَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ سَادَّةُ مَسَدَّ المَفْعُوْلِيْنَ. يُنْظَرُ الدَّرُ المُصَوِّنُ (١/٣٣٣)، وَ الكَوَاكِبُ الدَّرِيَةُ (۱/۱۹۵).
🌻3. Terkadang ada dzonna untuk yakin.
Tadi sudah dijelaskan bahwasanya ظن ، حسب، زعم ini تفيد الظن tapi kadang ada juga dzonna yang maknanya "Yakin".
contoh firman Allah Ta’ala :
إِنِّي ظّنَنْتُ أَنِّي مُلَٰقٍ حِسَابِيَهْ
"Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menjumpai hisab atas diriku".
Maka ظَنَنْتُ dalam ayat ini merupakan fiil madhi yang maknanya yakin,
dan ta’ adalah fa’ilnya.
Dan أَن dalam kalimat إِنِّي ظّنَنْتُ أَنِّي apa yg masuk atasnya mereka menempati tempatnya 2 maf'ul.
Nanti dalam pelajaran lebih lanjut, kita akan belajar bahwa terkadang ada kalimat yang maful bih awwal dan maful bih tsani nya itu tidak nampak. Bukan isim mufrad dan isim mufrad tapi kalimat
Jadi kita lihat ayat ini: إِنِّي ظّنَنْتُ sesungguhnya aku yakin,
أَنِّي مُلَٰقٍ حِسَابِيَهْ
"bahwa sesungguhnya aku akan menjumpai hisab atas diriku".
Maka pertanyaan nya: mana mafulnya? Karena disini setelah zhonna ada أَنِّي, dimana kita tahu أَنِّي ini teman nya أِنَّ.
Maka dalam posisi seperti ini terkadang cara irobnya أَنِّي مُلَٰقٍ حِسَابِيَهْ ini menjadi maful bih awwal dan maful bih tsani bagi zhonantu. Dan istilah yg kita gunakan adalah saddah masaddah mafull'ain.
Yang dimaksud saddah masaddah mafull'ain bahwa yg menjadi mafulbih awwal dan mafulbih tsani dari kalimat إِنِّي ظّنَنْتُ adalah keseluruhan dari أَنِّي مُلَٰقٍ حِسَابِيَهْ seperti itu.
Lihat: Ad Darul Mushowwin (1/333), dan Al Kawakibu Ad Dariyah (1/195).
٤- إِذَا كَانَتْ (رَأَى) بَصَرِيَّةٌ تَدُلُّ عَلَى الرُّؤْيَةِ بِالْعَيْنِ فَإِنَّهَا تَتَعَدَّى إِلَى مَفْعُوْلٍ وَاحِدٍ ، نَحْوُ: رَأَيْتُ زَيْدًا،
🌻4. Apabila (رَأَى) maknanya بَصَرِيَّةٌ (melihat). Maka رَأَى dengan makna melihat ini termasuk fiil muta'adiy yg hanya membutuhkan 1 maful bih saja.
Contohnya:
رَأَيْتُ زَيْدًا،
"Saya melihat seorang zaid".
Roaitu yg menjadi temen nya zhonna bukan roaitu yg maknanya melihat.
Karena roaitu yg makna nya melihat hanya butuh 1 maful bih saja. Tetapi roitu yg menjadi temannya zhonna, roitu yg bermakna yakin/berpendapat. Bukan melihat dengan mata.
وَإِذَا أَتَى بَعْدَهَا مَا يُوْهِمُ أَنَّهُ مَفْعُوْلٌ ثَانٍ يُعْرَبُ حَالًا، نَحْوُ : رَأَيْتُ زَيْدًا قَائِمًا
Dan apabila datang setelahnya sesuatu yang dianggap adalah maf'ul keduanya maka dia di irob sebagai Haal.
Contohnya:
رَأَيْتُ زَيْدًا قَائِمًا
"Saya melihat zaid dalam keadaan berdiri".
Jadi kalau kalimat رَأَيْتُ nya bermakna melihat maka قَائِمًا bukanlah maful bih tsani. Karena dari maknanyapun kita bisa melihat رَأَيْتُ زَيْدًا قَائِمًا
lebih cocok makna nya sebagai Haal. Irob nya:
رَأَيْتُ : fiil dan fail
زَيْدًا: maful bih
قَائِمًا : haal
*Jadi catatan رَأَى yg menjadi temannya zhonna adalah رَأَى yg maknanya berpendapat*.
Tapi kalau رَأَى yg bermakna melihat dengan mata, dia hanya butuh 1 maful bih saja.
====================
٥- هُنَاكَ أَفْعَالٌ كَثِيْرَةٌ تَنْصِبُ مَفْعُوْلَيْنِ وَلَيْسَتْ مِنْ أَخَوَاتِ ظَنٍّ، نَحْوُ: كَسَا وَ أَعْطَى ...
5. Ada Banyak fi'il penashab dua maf'ul yang bukan merupakan saudara ظَنَّ , contoh: كَسَا dan أَعْطَى
.
🔸( *Faidah ke-5 terlewat oleh ustadz* )🔸
====================
٦- ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ ظَنَّ وَأَخَوَاتَِهَا فِي الْمَرْفُوْعَاتِ لِتَتْمِيْمِ بَقِيَّةِ النَّوَاسِخِ .
6. Mushonnif Ibnu Aajurrum Ash-Shonhajiy menyebut dzonna dan saudara-saudaranya di dalam bab marfu'aat untuk menyempurnakan sisa penjelasan dari amil an-nawaasikh.
Bab Amil Mubtada Khobar ini masuk ke bab Marfua'aatil Asma.
Harusnya kita berbicara segala sesuatu yg kedudukannya marfu. Tapi kenapa dzonna dan Saudaranya semuanya maful bih disebutkan ke dalam kelompok marfu'aat.
Kata Beliau hanya sebatas penyempurnaan penjelasan amil nawasih
Sehingga pembahasan amil nawaasikh menjadi selesai meskipun i'rob untuk dzonna dan saudara-saudaranya ini masuknya ke manshubat karena dia termasuk kedudukan wajib manshub keduanya.
Semoga bermanfaat.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
سبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
Senin, 06 Maret 2017
Dars 36: Inna & saudaranya
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
📝 Transkrip Materi BINAR Pekan 17
🎧 Pengisi Materi :: Ustadz Abu Razin
📚 Dars 36 :: Bab An Nawaasikh
°°Inna dan Saudaranya°°
⌛ Durasi audio : 24.49 menit
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله و صحبه ومن والاه, أما بعد.
Alhamdulillah kita lanjutkan pelajaran kita dari Kitab Al Mumti’ Fii Syahril Ajurrumiyyah, dan kita sudah sampai ke pembahasan إِنَّ وَأَخَوَاتُهَا, halaman 109.
ثَانِيًا: إِنَّ وَأَخَوَاتُهَا:
🖍 *Kedua: Inna dan saudara-saudaranya*
Sebelumnya kita sudah membahas amil nawasikh yang pertama yaitu kaana dan saudaranya, dimana kaana dan saudaranya ini:
تَرْفَعُ الاسْمَ، وَ تَنْصِبُ الخَبَرَ
_Merofa’kan isim, dan menashabkan khabar_
Sekarang kita belajar:
إِنَّ وَأَخَوَاتُهَا
Dimana inna dan saudaranya ini, kebalikan dari kaana, kalau kaana:
تَرْفَعُ الاسْمَ، وَ تَنْصِبُ الخَبَرَ
Kalau inna:
تَنْصِبُ الاسْمَ وَتَرْفَعُ الْخَبَرَ
_Menashabkan isim dan merofa’kkan khabar_
Contohnya kalau kaana
كَانَ اللهُ غَفُوْرًا
Kalau inna, dibalik
إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ
قَالَ المُصَنِّفُ:
Berkata Mushonif رحمه الله تعالى, yakni Ibnu Ajurum Ashshonhaji
:
وَأَمَّا إِنَّ وَأَخَوَاتُهَا: فَإِنَّهَا تَنْصِبُ الاسْمَ وَتَرْفَعُ الْخَبَرَ،
Adapun _inna dan saudaranya, maka dia itu menashabkan isim dan merofa’kan khabar_
وَهِيَ: إِنَّ، وَأَنَّ، وَلَكِنَّ، وَكَأَنَّ، وَلَيْتَ، وَلَعَلَّ،
Dan inna dan saudara-saudaranya itu adalah:
إِنَّ، dan
أَنَّ،
» Inna dan anna artinya sama-sama sesungguhnya
لَكِنَّ،
Artinya: akan tetapi
كَأَنَّ،
perumpamaan (seperti, atau bagaikan)
لَيْتَ،
Semoga, atau seandainya
لَعَلَّ،
Artinya »» "Semoga"
تَقُولُ: إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ،
Kamu katakan:
إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
Perhatikan, kalau kaana
كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا
Tapi kalau إِنَّ, dia
تَنْصِبُ الاسْمَ وَتَرْفَعُ الْخَبَرَ
إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
Isimnya Zaid disini manshub:
إِنَّ زَيْدًا
Kemudian khabarnya, marfu’
قَائِمٌ
وَلَيْتَ عَمْرًا شَاخِصٌ،
"Dan seandainya Amr itu hadir"
وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ،
Dan apa-apa yang menyerupai demikian.
🔸وَمَعْنَى إِنَّ وَأَنَّ لِلتَّوْكِيدِ،
Dan _maknanya إِنَّ dan أَنَّ itu untuk taukid, untuk menekankan makna_ , karena artinya sesungguhnya.
Kalau kita mengatakan
زَيْدٌ قَائِمٌ
Ini khabar biasa, kabar tentang berdirinya si Zaid, dan maknanya biasa. Tapi kalau kita tambahkan إِنَّ di depannya
إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
Ini penekanan.
Penekanan bahwa si Zaid betul-betul, sesungguhnya si Zaid berdiri.
Jadi إِنَّ dan أَنَّ ini berfungsi sebagai taukid, penekanan makna.
Maknanya lebih kuat di banding kalau kita tidak menggunakan إِنَّ.
🔹 وَلَكِنَّ لِلِاسْتِدْرَاكِ،
Dan لَكِنَّ untuk mempertentangkan, *akan tetapi*. Yaitu mempertentangkan kalimat pertama dengan kalimat kedua.
🔸وَكَأَنَّ لِلتَّشْبِيهِ،
Dan َكَأَنَّ itu *untuk penyerupaan, tasybih, bagaikan, seperti*
🔹 وَلَيْتَ لِلتَّمَنِّي،
Dan لَيْتَ untuk tamanniy, tamanniy itu *pengandaian*.
Tamanniy ini merupakan harapan yang sulit untuk digapai, yang tidak mungkin atau sulit untuk digapai.
🔸 وَ لَعَلَّ لِلتَّرَجِّي وَالتَّوَقُّعِ
Dan لَعَلَّ *untuk harapan baik, dan ketakutan akan kejadian buruk*.
● التَّرَجِّي
itu artinya harapan baik, seperti kita mengatakan:
لَعَلَّكَ بِخَيرٍ
Semoga kamu baik-baik saja.
Kalau
● التَّوَقُّعِ
Ini ketakutan akan terjadi sesuatu hal yang buruk menimpa seseorang.
Misalnya kita katakan:
لَعَلَّ زَيدًا مَرِيضٌ
Tentu ini artinya bukan, semoga si Zaid sakit.
Tapi maknanya, jangan-jangan si Zaid sakit.
Ini yang di maksud dengan :
التَّوَقُّعِ
الشَرْحُ:
Penjelasan:
عَرَفْتَ فِيْمَا سَبَقَ كَانَ وَ أَخَوَاتِهَا.
Kamu telah mengenal penjelasan sebelumnya, tentang kaana dan saudaranya.
وَ فِي هَذَا الدَّرْسِ تَتَعَرَّفُ عَلَى النَّوْعِ الثَّانِي مِنَ النَّوَاسِخِ،
Dan pada pelajaran ini, kamu akan mengenal jenis kedua dari amil nawasikh,
وَ هُوَ :إِنَّ وَأَخَوَاتُهَا:
Dan dia itu adalah inna dan saudaranya
وَهِيَ سِتَّةُ أَحْرُفٍ :
Kalau كَانَ dan saudaranya itu semuanya adalah fiil. Tapi kalau إِنَّ dan saudaranya semuanya adalah huruf. Jadi إِنَّ, أَنَّ, dan saudaranya, semuanya ada enam huruf.
Jadi:
إِنَّ، وَأَنَّ، وَلَكِنَّ، وَكَأَنَّ، وَلَيْتَ، وَ لَعَلَّ
Jadi ini semuanya adalah huruf.
Adapun كَانَ dan saudaranya semuanya adalah fiil
عَمَلُهَا:
Amalnya itu, pengaruhnya
تَنْصِبُ الِاسْمَ وَ تَرْفَعُ الخَبَرَ
Jadi إِنَّ dan saudaranya ini dia menashabkan isim dan merofa’kan khabar, menashabkan mubtada dan merofa’kan khabar
مِثَالُهَا: إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ.
Contohnya:
إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
Asalnya
زَيْدٌ قَائِمٌ
Mubtada-khabar ya..
Ketika ada إِنَّ di depannya, mubtada nya menjadi manshub:
إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
إِعْرَابُهُ:
I’rabnya:
إِنَّ: حَرْفٌ نَاسِخٌ يَنْصِبُ الاسْمَ وَ يَرْفَعُ الخَبَرَ
Inna adalah huruf nawasikh, huruf penghapus, menashabkan isim dan merafa’kan khabar.
زَيْدًا: اِسْمُ إِنَّ مَنْصُوْبٌ وَ عَلَامَةُ نَصْبِهِ الفَتْحَةُ الظّاهِرَةُ عَلَى آخِرِهِ.
Zaidan adalah isim inna yang dinashabkan, dan tanda nashabnya adalah fathah yang dhahir pada akhirnya.
قَائِمٌ: خَبَرُ إِنَّ مَرْفُوْعٌ وَ عَلَامَةُ رَفْعِهِ الضَمَّةُ الظَاهِرَةُ عَلَى آخِرِهِ.
Qaaimun, sebagai khabarnya inna, marfu, dirafa’kan, dan tanda rafa’nya adalah dhammah yang dhahir pada akhirnya.
وَأَمَّا مَعَانِيْهَا :
Adapun makna-maknanya:
ف(إِنَّ، وَأَنَّ): مَعْنَاهُمَا: التَّوْكِيْدُ.
Maka inna dan anna, makna keduanya adalah taukid, penekanan makna.
تَقُوْلُ: زَيْدٌ قَائِمٌ،
Misalnya kamu katakan:
زَيْدٌ قَائِمٌ
Zaid berdiri
Ini kalimat biasa
ثُمَّ تَدْخُلُ (إِنَّ) لِتَوْكِيْدِ الْخَبَرِ وَتَقْرِيْرِهِ
Kemudian kamu masukkan إِنَّ untuk menguatkan khabar, menguatkan keterangan dan menetapkannya
فَتَقُوْلُ: إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
Maka kamu katakan:
إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
"Sesungguhnya si Zaid berdiri"
Dengan kita menambahkan إِنَّ disini, maka ini menguatkan kabar tentang berdirinya si Zaid.
Ini bisa dilihat di Syarah Qatrun Nada halaman 205.
وَنَحْوُ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِنَّ اللهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ﴾،
Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut.
Ini dalam Surat Al Hajj ayat 63.
~ Dengan adanya إِنَّ disini, ini menguatkan keterangan bahwasannya Allah itu Maha Lembut.
~ Asalnya:
اللهُ لَطِيفٌ
Ketika ada inna, menjadi:
إِنَّ اللهَ لَطِيفٌ
وَ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿اعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ﴾
Surat Al Maidah ayat 98.
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
اعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Ketahuilah, sesungguhnya Allah itu siksaannya sangat pedih.
Asalnya:
اللهُ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Ketika ada anna di sini, dia menjadi manshub
أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan bedanya إِنَّ dan أَنَّ, - إِنَّ dan أَنَّ ini sama-sama huruf taukid-, bedanya kalau أَنَّ tidak mungkin di awal kalimat. Tidak mungkin kalau kalimat baru, ujug-ujug (tiba-tiba) kita bilang
أَنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
Ini tidak mungkin.
Yang boleh di awal, hanya إِنَّ saja.
Adapun أَنَّ, dia biasanya di tengah, terusan dari kata sebelumnya. Misalkan dalam ayat ini:
اعْلَمُوْا
Ketahuilah, ketahui apa? أَنَّ, tidak mungkin tiba-tiba di depan
أَنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
Jadi membedakan إِنَّ dan أَنَّ, penggunaannya adalah kalau إِنَّ bisa di awal kalimat, tapi kalau أَنَّ tidak bisa.
■ وَ (لَكِنَّ):
Dan kemudian لَكِنَّ
مَعْنَاهَا الاسْتِدْرَاكَ
Maknanya adalah istidrak
وَ هُوَ رَفْعُ مَا يُتَوَهَّمُ مِنْ كَلاَمٍ سَابِقٍ،
Istidrak artinya mengangkat apa yang dituduhkan dari apa yang dianggap dari, perkataan sebelumnya.
Jadi mempertentangkan kalimat pertama dengan fakta kalimat kedua.
نَحْوُ: زَيْدٌ غَنِيٌّ لَكِنَّهُ بَخِيْلٌ٬
Kita lihat disini.
Pernyataan pertama:
زَيْدٌ غَنِيٌّ
"Zaid itu kaya"
Kemudian dipertentangkan dengan
لَكِنَّهُ بَخِيْلٌ
"Akan tetapi dia pelit"
Sifat yang harusnya melekat pada orang yang kaya adalah dia dermawan, مُحسِنٌ
Tetapi kalau ternyata orangnya kaya tapi pelit, maka untuk mempertentangkan dua keadaan ini, menggunakan لَكِنَّ.
زَيْدٌ غَنِيٌّ لَكِنَّهُ بَخِيْلٌ
"Zaid itu kaya, akan tetapi pelit"
فَإِنَّ وَصْفَ زَيْدٍ بِالغِنَى يُوْهِمُ أَنَّهُ كَرِيْمٌ٬
Maka sesungguhnya mensifati Zaid dengan kekayaan, pasti membuat orang menyangka/mengira, bahwasanya dia itu mulia.
فَأُزِيْلَ هَذَا الوَاهْمُ بِقَوْلِنَا: لَكِنَّهُ بَخِيْلٌ (۱).
Maka dihilangkan, -dari kata أَزَالَ – يُزِيْلُ - إِزَالَةً artinya menghilangkan – persangkaan ini dengan perkataan kita
لَكِنَّهُ بَخِيْلٌ
Akan tetapi dia pelit.
Bisa dilihat di kitab Al Qawa’id Al Asaasiyah halaman 159, dan juga dalam kitab Mujibun Nada halaman 235.
■ و (كَأَنَّ):
Kemudian َكَأَنَّ
مَعْنَاهَا التَشْبِيْهُ
Maknanya adalah tasybih, penyerupaan
مِثْلُ: كَأَنَّ زَيْدًا أَسَدٌ٬
Artinya Zaid itu bagaikan singa.
Mungkin karena keberaniannya, maka kita menyerupakan sifat keberanian si Zaid dengan singa.
كَأَنَّ زَيْدًا أَسَدٌ
"Seakan-akan atau Zaid itu bagaikan singa."
وَ قَوْلِهِ تَعَالَى: ٍ﴿كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ﴾
"Seakan-akan dia itu adalah bintang."
Ini dalam surat An-Nuur ayat 35
■ وَ (لَيْتَ): مَعْنَاهَا التَمَنِّي: وَهُوَ طَلَبُ المُسْتَحِيْلِ ـغَالِبًاـ أَوِ المُمْكِنُ الحُصُوْلِ
Dan لَيْتَ maknanya adalah at-tamanniy. Apa itu tamanniy? Tamanniy pengandaian
Disini diberi penjelasan
وَهُوَ طَلَبُ المُسْتَحِيْلِ ـغَالِبًاـ
Tamanniy itu adalah meminta sesuatu yang mustahil
ـغَالِبًاـ
biasanya
أَوِ المُمْكِنُ الحُصُوْلِ
Atau bisa juga/mungkin juga terjadinya
فَالمُسْتَحِيْلُ نَحْوُ: لَيْتَ الشَبَابَ عَائِدٌ٬
Kalimat ini artinya: seandainya masa muda kembali.
Misalnya ada orang tua lagi menghayal ya, lagi tamanniy, lagi berandai-andai, umurnya sudah 60 tahun, lalu dia berkata:
لَيْتَ الشَبَابَ عَائِدٌ
"Seandainya masa muda itu kembali."
Tentu ini sesuatu yang mustahil, tidak mungkin orang tua itu bisa kembali menjadi muda usianya, kalau semangatnya mungkin bisa, tapi kalau usianya tidak mungkin.
وَالمُمْكِنُ الحُصُوْلِ نَحْوُ: لَيْتَ مُحَمَّدًا حَاضِرٌ.
Dan yang mungkin hasilnya:
لَيْتَ مُحَمَّدًا حَاضِرٌ
☆ Jadi لَيْتَ ini boleh dipakai untuk menyatakan:
1. sesuatu yang tidak mungkin atau mustahil terjadi, seperti orang sedang berandai-andai, atau
2. Boleh juga untuk sesuatu yang mungkin terjadi.
Contohnya:
لَيْتَ مُحَمَّدًا حَاضِرٌ
Misalkan kita mengundang semua teman-teman kita, tapi si Muhammad tidak datang. Maka kita mengatakan:
لَيْتَ مُحَمَّدًا حَاضِرٌ
"Seandainya si Muhammad itu hadir"
Maka لَيْتَ di sini pengandaian yang mungkin terjadi. Adapun
لَيْتَ الشَبَابَ عَائِدٌ
Ini namanya:
طَلَبُ المُسْتَحِيْلِ
meminta sesuatu yang mustahil
■ وَ (لَعَلَّ): مَعْنَاهَا: التَّرَجِّي وَالتَّوَقُّعِ ٬
Dan لَعَلَّ, maknanya adalah
التَّرَجِّي وَالتَّوَقُّعِ
Apa itu
التَّرَجِّي ?
فَالتَرْجِي فِي المَحْبُوْبِ٬
Maka yang dimaksud dengan attarajiy adalah pada sesuatu yang disukai.
Jadi لَعَلَّ ini harapan, atau do’a. Kalau tarajiy harapannya untuk sesuatu yang disukai.
نَحْوُ, لَعَلَّ اللهَ يَرْحَمُنَا٬
Semoga Allah merahmati kita.
Ini tarajiy, harapan baik. Kita mengharapkan agar kita dirahmati oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala.
وَالتَّوَقُّعُ فِي المَكْرُوْهِ٬
Dan tawaqqu’ ini, kalau kita terjemahkan kecemasan.
فِي المَكْرُوْهِ
Pada sesuatu yang kita benci.
نَحْوُ: لَعَلَّ العَدُوَّ قَادِمٌ.
tentu mengartikannya tidak, “semoga musuh itu datang”
Tetapi, “jangan-jangan musuh itu datang”.
Jadi لَعَلَّ ini merupakan kecemasan. Seperti ketika ada teman kita yang tidak masuk sekolah, kemudian kita bertanya-tanya, mana si Zaid? Mana si Zaid? Kita katakan:
لَعَلَّ زَيدًا مَرِيضٌ
Tentu ini artinya bukan, “semoga si Zaid sakit”, tapi “jangan-jangan si Zaid sakit”
Jadi لَعَلَّ ini bisa
لِلتَّرَجِّي
Harapan baik, bisa
التَّوَقُّعِ
Kecemasan.
----------------------------------------------
Kemudian… selanjutnya kita lihat disini ada
فَوَائِدُ وَ تَنْبِيْهَاتٌ:
🍂 ١- مِنَ الْفُرُوْقِ بَيْنَ (إِنَّ) الْمَكْسُوْرَةِ وَالْمَفْتُوْحَةِ الْهَمْزَةُ، أَنَّ (أَنَّ) الْمَفْتُوْحَةَ الْهَمْزَةُ لاَ تَأْتِي فِيْ صَدْرِ الْكَلاَمِ،
Diantara perbedaan diantara إِنَّ yang dikasrahkan hamzahnya dan أَنَّ yang difathahkan hamzahnya, bahwasannya أَنَّ yang difathahkan hamzahnya
لاَ تَأْتِي فِيْ صَدْرِ الْكَلاَمِ،
Tidak mungkin datang di awal kalimat.
فَلاَ بُدَّ أَنْ يَسْبِقَهَا كَلاَمٌ كَقَوْلِكَ ( بَلَغَنِيْ أَوْ أَعْجَبَنِيْ) وَ نَحْوُ ذَلِكَ.
Maka sudah semestinya, ia didahului oleh kalimat. Seperti perkataanmu:
بَلَغَنِيْ أَوْ أَعْجَبَنِيْ
Misalnya kalimatnya:
بَلَغَنِيْ أَنَّ زَيدًا عَلِيْمٌ
Atau
أَعْجَبَنِيْ أَنَّ زَيدًا مَاهِرٌ
Jadi أَنَّ, yang hamzahnya fathah, ini tidak mungkin ada di awal kalimat. Tidak mungkin kita bikin kalimat tiba-tiba langsung:
أَنَّ زَيدًا مَاهِرٌ
❌
Tidak mungkin.
Kalau kita ingin membuat kalimat di depan, pasti pakainya إِنَّ.
Kapan إِنَّ digunakan?
Anna selalu digunakan setelah adanya, biasanya pakai fi’il ya, seperti:
بَلَغَنِيْ
Telah sampai kepadaku, atau:
أَعْجَبَنِيْ
Membuatku takjub, atau
عَلِمْتُ أَنَّ
Jadi biasa diawali oleh fi’il sebelumnya.
يُنْظَرُ : شَرْحُ قَطْرُ النَّدَا
Halaman 205
Faidah yang kedua
🍂 ٢-( لَكِنَّ ) لاَ بُدَّ أَنْ يَسْبِقَهَا كَلاَمُ
Begitupun dengan لَكِنَّ, tidak boleh tidak, dia pasti di dahului oleh kalam.
Lakinna ini juga sama seperti أَنَّ, dia harus didahului oleh kalam.
وَإِذَا لَمْ تَكُنْ مُشَدَّدَةً النُّوْنِ يَجِيْبُ إِهْمَالُهَا
Dan apabila nunnya tidak bertasydid, maka wajib
إِهْمَالُهَا
Mengabaikannya.
Artinya kalau nunnya tidak bertasydid, nanti kan jadinya
لَكِنْ
Lakin لَكِنْ
dan
lakinna لَكِنَّ
ini sama-sama untuk istidrak.
Bedanya, kalau
لَكِنَّ
ini temannya إِنَّ, dia beramal seperti إِنَّ.
Tapi kalau لَكِنْ
lakin dia bukan termasuk amil nawasikh.
Makanya disini dikatakan:
فَلاَ تَعْمَلْ وَيَبْقَى مَعْنَهَا
Maka
لَكِنْ
Itu tidak beramal seperti إِنَّ.
وَيَبْقَى مَعْنَهَا
Akan tetapi maknanya tetap.
Artinya
لَكِنْ
itu maknanya sama seperti لَكِنَّ, istidrak, yaitu mempertentangkan kalimat pertama dengan kalimat kedua.
Bedanya kalau
لَكِنَّ
itu termasuk amil nawasikh, tapi kalau
لَكِنْ
bukan amil nawasikh.
وَيَبْقَى مَعْنَهَا وَهُوَ الْإْسْتِدْرَاكَ
Dan maknanya tetap, dan dia itu adalah istidrak
Jadi baik لَكِنَّ dan لَكِنْ sama-sama istidrak.
نَحوُ قَوْلِهِ تَعَالَى﴿وَمَا ظَلَمْنٰهُمْ وَلٰكِنْ كَانُوْ أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ﴾
"Dan tidaklah Kami mendhalimi mereka, akan tetapi diri mereka sendirilah yang berbuat dhalim."
وَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿ لٰكِنِ الرّٰسِخُوْنَ فِيْ الْعِلْمِ﴾.
Akan tetapi orang-orang yang roosikh (orang-orang yang kuat keilmuannya) maka لَكِنْ dalam contoh ini tidak termasuk huruf nawasikh.
Tetapi maknanya sama-sama istidrak.
Thayyib…
Silahkan dilihat dalam Qatrun Nada’ halaman 212, dan dalam kitab Mujiibun Nadaa halaman 235.
Faidah yang ketiga…
🍂 ٣- قَالَ اِبْنُ القَيِّمِ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي( لَعَلَّ) :
Berkata Ibnul Qayyim , semoga Allah merahmatinya, pada lafadz
لَعَلَّ
أِنَّمَا يُقَارِنُهَا مَعْنَى التَّرَخِي إِذَا كَانَتْ مِنَ المَخْلُوقُ،
Hanya saja, لَعَلَّ
itu dikaitkan dengan harapan, apabila yang berharap disini adalah makhluk
وَ أَمَّا فِي حَقِّ مَنْ لاَ يَصِحُ فِي حَقَّهِ التَّرَجِي فَهِيَ لِلتَّعْلِيلِ المَحِيضِ ،
Adapun pada hak seseorang yang tidak sah pada haknya itu adanya harapan, maka dia itu, (لَعَلَّ
pada kasus ini) merupakan
لِلتَّعْلِيل المَحِيضِ
adalah untuk menjelaskan sebab, alasan secara mutlak.
كَقَوْلِهِ تَعَالىَ: ﴿لَعَلَّكُم تَتَّقُونَ﴾،
"Semoga kalian bertaqwa"
وَالرَّجَاءُ اللَّذِي فِيهَا مُتَعَلِّقٌ بِالمُخَاطَبِينَ
Dan harapan yang pada ayat tersebut, yaitu:
لَعَلَّكُم تَتَّقُونَ
Ini tergantung atau berkaitan dengan
بِالمُخَاطَبِينَ
Orang-orang yang ajak, atau orang-orang yang dimaksud dalam ayat ini.
Maksudnya begini… jadi
لَعَلَّ
Itu kan maknanya
لِلتَّرَجِّي
untuk harapan, artinya semoga.
Nah, kata Ibnul Qayyim Al-Jauzi, التَّرَجِّي
itu berlaku untuk makhluk. kalau makhluk ngomong:
لَعَلَّكَ بِخَير
Maka ini adalah do’a. semoga
Tetapi kalau Allah yang bicara, maka ini bukalah harapan, tapi pasti, mutlak terjadi.
Seperti dalam ayat tentang puasa. Ayat tentang puasa itu kan ujungnya:
….لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Maka
لَعَلَّكُم تَتَّقُونَ
bukanlah harapan, tapi merupakan jaminan dari Allah, bagi siapa saja yang berpuasa maka dia pasti akan menjadi orang yang bertakwa.
Jadi ini maksud dari perkataan Ibnul Qayyim رحمه الله تعالى.
Kemudian, faidah yang keempat:
🍂 ٤. إِذَا اتَّصَلَتْ (مَا) الحَرْفِيَّةُ الزَّائدَةُ بـ(إِنَّ) وَ أخَوَاتِهَا تَكُفُّهَا عَنِ العَمَلِ فِي الجُمْلَةِ الاسْمِيَّةِ اللَّتي تَدْخُلُ عَلَيْهَا
Apabila bersambung مَا yang merupakan huruf zaidah dengan إِنَّ, -kita sering mendengar kadang إِنَّ disambung dengan مَا , seperti:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَات -
Apa yang terjadi?
تَكُفُّهَا عَنِ العَمَلِ
Maka, مَا zaidahnya ini menahan atau mencegah إِنَّ dari beramal seperti amil nawasikh.
تَكُفُّهَا عَنِ العَمَلِ فِي الجُمْلَةِ الاسْمِيَّةِ اللَّتي تَدْخُلُ عَلَيْهَا
Maka keberadaan مَا ini mencegahnya dari beramal pada jumlah ismiyyah yang kemasukan إِنَّمَا
وَتَبْقَى الجُمْلَةُ مَكَوَّنَةً مِن ْ مُبْتَدَإٍ وَ خَبَرٍ
Dan kalimatnya tetap tersusun dari mubtada dan khabar.
كَمَا كَانَتْ قَبْلَ دُخُولِ الحَرفِ النَّاسخِ
Sebagaimana sebelum kemasukan huruf nawasikh
مِثَلُ قَو لُهَ تَعَالى ؛ ( إّنَّمَا المُؤمِنونَ إخْوةٌ)
Lihat harusnya kalau إّنَّمَا ini
إّنَّ-nya
beramal, maka yang benar itu:
إّنَّمَا المُؤمِنِينَ إخْوةٌ
Tetapi dijelaskan tadi, kalau إِنَّ bersambung dengan مَا, maka batal hukum nawasikhnya. Jadi dia tidak menjadikan mubtada manshub dan khabarnya marfu’. Tetapi kembali ke hukum asalnya. Jadi intinya إّنَّمَا ini tidak punya amal. Makanya tetep
إنَّمَا المُؤمِنونَ إخْوةٌ
Kalau kita buang إنَّمَا –nya, ini tetap mubtada dan khabar.
المُؤمِنونَ إخْوةٌ
وَيُسْتَثْنَى مِنْ ذَلكِ ( لَيتَ) فَيَجُوزُ إهمَالُهَا إعْمَالُهَا.
Dan dikecualikan dari kaidah yang seperti ini,
لَيتَ
Kalau
لَيتَ
فَيَجُوزُ إهمَالُهَا إعْمَالُهَا
Maka boleh mengabaikannya, boleh pula mengamalkannya.
Lihat Syarah Qatrun Nadaa halaman 207.
Maksudnya kalau إِنَّ dan saudara-saudaranya ini kan bisa:
إّنَّمَا
كَأَنَّمَا
لَكِنَّمَا
لَعَلَّمَا
Ini semua مَا zaidah kalau nempel pada إِنَّ, ini menjadikan ia tidak lagi menjadi amil nawasikh, kecuali pada
لَيتَ
Kalau
لَيتَ
baik ada مَا –nya maupun tidak ada مَا –nya, dia boleh tetap menganggapnya ataupun mengabaikan.
Jadi ini tambahan faidah dari Mushannif, Pengarang Kitab Al Mumti’ Fii Syahril Ajurrumiyyah
=====================
Thayyib..
Barangkali cukup sampai disini.
Semoga bermanfaat.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
سبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
📝 Transkrip Materi BINAR Pekan 17
🎧 Pengisi Materi :: Ustadz Abu Razin
📚 Dars 36 :: Bab An Nawaasikh
°°Inna dan Saudaranya°°
⌛ Durasi audio : 24.49 menit
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله و صحبه ومن والاه, أما بعد.
Alhamdulillah kita lanjutkan pelajaran kita dari Kitab Al Mumti’ Fii Syahril Ajurrumiyyah, dan kita sudah sampai ke pembahasan إِنَّ وَأَخَوَاتُهَا, halaman 109.
ثَانِيًا: إِنَّ وَأَخَوَاتُهَا:
🖍 *Kedua: Inna dan saudara-saudaranya*
Sebelumnya kita sudah membahas amil nawasikh yang pertama yaitu kaana dan saudaranya, dimana kaana dan saudaranya ini:
تَرْفَعُ الاسْمَ، وَ تَنْصِبُ الخَبَرَ
_Merofa’kan isim, dan menashabkan khabar_
Sekarang kita belajar:
إِنَّ وَأَخَوَاتُهَا
Dimana inna dan saudaranya ini, kebalikan dari kaana, kalau kaana:
تَرْفَعُ الاسْمَ، وَ تَنْصِبُ الخَبَرَ
Kalau inna:
تَنْصِبُ الاسْمَ وَتَرْفَعُ الْخَبَرَ
_Menashabkan isim dan merofa’kkan khabar_
Contohnya kalau kaana
كَانَ اللهُ غَفُوْرًا
Kalau inna, dibalik
إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ
قَالَ المُصَنِّفُ:
Berkata Mushonif رحمه الله تعالى, yakni Ibnu Ajurum Ashshonhaji
:
وَأَمَّا إِنَّ وَأَخَوَاتُهَا: فَإِنَّهَا تَنْصِبُ الاسْمَ وَتَرْفَعُ الْخَبَرَ،
Adapun _inna dan saudaranya, maka dia itu menashabkan isim dan merofa’kan khabar_
وَهِيَ: إِنَّ، وَأَنَّ، وَلَكِنَّ، وَكَأَنَّ، وَلَيْتَ، وَلَعَلَّ،
Dan inna dan saudara-saudaranya itu adalah:
إِنَّ، dan
أَنَّ،
» Inna dan anna artinya sama-sama sesungguhnya
لَكِنَّ،
Artinya: akan tetapi
كَأَنَّ،
perumpamaan (seperti, atau bagaikan)
لَيْتَ،
Semoga, atau seandainya
لَعَلَّ،
Artinya »» "Semoga"
تَقُولُ: إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ،
Kamu katakan:
إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
Perhatikan, kalau kaana
كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا
Tapi kalau إِنَّ, dia
تَنْصِبُ الاسْمَ وَتَرْفَعُ الْخَبَرَ
إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
Isimnya Zaid disini manshub:
إِنَّ زَيْدًا
Kemudian khabarnya, marfu’
قَائِمٌ
وَلَيْتَ عَمْرًا شَاخِصٌ،
"Dan seandainya Amr itu hadir"
وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ،
Dan apa-apa yang menyerupai demikian.
🔸وَمَعْنَى إِنَّ وَأَنَّ لِلتَّوْكِيدِ،
Dan _maknanya إِنَّ dan أَنَّ itu untuk taukid, untuk menekankan makna_ , karena artinya sesungguhnya.
Kalau kita mengatakan
زَيْدٌ قَائِمٌ
Ini khabar biasa, kabar tentang berdirinya si Zaid, dan maknanya biasa. Tapi kalau kita tambahkan إِنَّ di depannya
إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
Ini penekanan.
Penekanan bahwa si Zaid betul-betul, sesungguhnya si Zaid berdiri.
Jadi إِنَّ dan أَنَّ ini berfungsi sebagai taukid, penekanan makna.
Maknanya lebih kuat di banding kalau kita tidak menggunakan إِنَّ.
🔹 وَلَكِنَّ لِلِاسْتِدْرَاكِ،
Dan لَكِنَّ untuk mempertentangkan, *akan tetapi*. Yaitu mempertentangkan kalimat pertama dengan kalimat kedua.
🔸وَكَأَنَّ لِلتَّشْبِيهِ،
Dan َكَأَنَّ itu *untuk penyerupaan, tasybih, bagaikan, seperti*
🔹 وَلَيْتَ لِلتَّمَنِّي،
Dan لَيْتَ untuk tamanniy, tamanniy itu *pengandaian*.
Tamanniy ini merupakan harapan yang sulit untuk digapai, yang tidak mungkin atau sulit untuk digapai.
🔸 وَ لَعَلَّ لِلتَّرَجِّي وَالتَّوَقُّعِ
Dan لَعَلَّ *untuk harapan baik, dan ketakutan akan kejadian buruk*.
● التَّرَجِّي
itu artinya harapan baik, seperti kita mengatakan:
لَعَلَّكَ بِخَيرٍ
Semoga kamu baik-baik saja.
Kalau
● التَّوَقُّعِ
Ini ketakutan akan terjadi sesuatu hal yang buruk menimpa seseorang.
Misalnya kita katakan:
لَعَلَّ زَيدًا مَرِيضٌ
Tentu ini artinya bukan, semoga si Zaid sakit.
Tapi maknanya, jangan-jangan si Zaid sakit.
Ini yang di maksud dengan :
التَّوَقُّعِ
الشَرْحُ:
Penjelasan:
عَرَفْتَ فِيْمَا سَبَقَ كَانَ وَ أَخَوَاتِهَا.
Kamu telah mengenal penjelasan sebelumnya, tentang kaana dan saudaranya.
وَ فِي هَذَا الدَّرْسِ تَتَعَرَّفُ عَلَى النَّوْعِ الثَّانِي مِنَ النَّوَاسِخِ،
Dan pada pelajaran ini, kamu akan mengenal jenis kedua dari amil nawasikh,
وَ هُوَ :إِنَّ وَأَخَوَاتُهَا:
Dan dia itu adalah inna dan saudaranya
وَهِيَ سِتَّةُ أَحْرُفٍ :
Kalau كَانَ dan saudaranya itu semuanya adalah fiil. Tapi kalau إِنَّ dan saudaranya semuanya adalah huruf. Jadi إِنَّ, أَنَّ, dan saudaranya, semuanya ada enam huruf.
Jadi:
إِنَّ، وَأَنَّ، وَلَكِنَّ، وَكَأَنَّ، وَلَيْتَ، وَ لَعَلَّ
Jadi ini semuanya adalah huruf.
Adapun كَانَ dan saudaranya semuanya adalah fiil
عَمَلُهَا:
Amalnya itu, pengaruhnya
تَنْصِبُ الِاسْمَ وَ تَرْفَعُ الخَبَرَ
Jadi إِنَّ dan saudaranya ini dia menashabkan isim dan merofa’kan khabar, menashabkan mubtada dan merofa’kan khabar
مِثَالُهَا: إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ.
Contohnya:
إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
Asalnya
زَيْدٌ قَائِمٌ
Mubtada-khabar ya..
Ketika ada إِنَّ di depannya, mubtada nya menjadi manshub:
إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
إِعْرَابُهُ:
I’rabnya:
إِنَّ: حَرْفٌ نَاسِخٌ يَنْصِبُ الاسْمَ وَ يَرْفَعُ الخَبَرَ
Inna adalah huruf nawasikh, huruf penghapus, menashabkan isim dan merafa’kan khabar.
زَيْدًا: اِسْمُ إِنَّ مَنْصُوْبٌ وَ عَلَامَةُ نَصْبِهِ الفَتْحَةُ الظّاهِرَةُ عَلَى آخِرِهِ.
Zaidan adalah isim inna yang dinashabkan, dan tanda nashabnya adalah fathah yang dhahir pada akhirnya.
قَائِمٌ: خَبَرُ إِنَّ مَرْفُوْعٌ وَ عَلَامَةُ رَفْعِهِ الضَمَّةُ الظَاهِرَةُ عَلَى آخِرِهِ.
Qaaimun, sebagai khabarnya inna, marfu, dirafa’kan, dan tanda rafa’nya adalah dhammah yang dhahir pada akhirnya.
وَأَمَّا مَعَانِيْهَا :
Adapun makna-maknanya:
ف(إِنَّ، وَأَنَّ): مَعْنَاهُمَا: التَّوْكِيْدُ.
Maka inna dan anna, makna keduanya adalah taukid, penekanan makna.
تَقُوْلُ: زَيْدٌ قَائِمٌ،
Misalnya kamu katakan:
زَيْدٌ قَائِمٌ
Zaid berdiri
Ini kalimat biasa
ثُمَّ تَدْخُلُ (إِنَّ) لِتَوْكِيْدِ الْخَبَرِ وَتَقْرِيْرِهِ
Kemudian kamu masukkan إِنَّ untuk menguatkan khabar, menguatkan keterangan dan menetapkannya
فَتَقُوْلُ: إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
Maka kamu katakan:
إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
"Sesungguhnya si Zaid berdiri"
Dengan kita menambahkan إِنَّ disini, maka ini menguatkan kabar tentang berdirinya si Zaid.
Ini bisa dilihat di Syarah Qatrun Nada halaman 205.
وَنَحْوُ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِنَّ اللهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ﴾،
Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut.
Ini dalam Surat Al Hajj ayat 63.
~ Dengan adanya إِنَّ disini, ini menguatkan keterangan bahwasannya Allah itu Maha Lembut.
~ Asalnya:
اللهُ لَطِيفٌ
Ketika ada inna, menjadi:
إِنَّ اللهَ لَطِيفٌ
وَ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿اعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ﴾
Surat Al Maidah ayat 98.
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
اعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Ketahuilah, sesungguhnya Allah itu siksaannya sangat pedih.
Asalnya:
اللهُ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Ketika ada anna di sini, dia menjadi manshub
أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan bedanya إِنَّ dan أَنَّ, - إِنَّ dan أَنَّ ini sama-sama huruf taukid-, bedanya kalau أَنَّ tidak mungkin di awal kalimat. Tidak mungkin kalau kalimat baru, ujug-ujug (tiba-tiba) kita bilang
أَنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
Ini tidak mungkin.
Yang boleh di awal, hanya إِنَّ saja.
Adapun أَنَّ, dia biasanya di tengah, terusan dari kata sebelumnya. Misalkan dalam ayat ini:
اعْلَمُوْا
Ketahuilah, ketahui apa? أَنَّ, tidak mungkin tiba-tiba di depan
أَنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
Jadi membedakan إِنَّ dan أَنَّ, penggunaannya adalah kalau إِنَّ bisa di awal kalimat, tapi kalau أَنَّ tidak bisa.
■ وَ (لَكِنَّ):
Dan kemudian لَكِنَّ
مَعْنَاهَا الاسْتِدْرَاكَ
Maknanya adalah istidrak
وَ هُوَ رَفْعُ مَا يُتَوَهَّمُ مِنْ كَلاَمٍ سَابِقٍ،
Istidrak artinya mengangkat apa yang dituduhkan dari apa yang dianggap dari, perkataan sebelumnya.
Jadi mempertentangkan kalimat pertama dengan fakta kalimat kedua.
نَحْوُ: زَيْدٌ غَنِيٌّ لَكِنَّهُ بَخِيْلٌ٬
Kita lihat disini.
Pernyataan pertama:
زَيْدٌ غَنِيٌّ
"Zaid itu kaya"
Kemudian dipertentangkan dengan
لَكِنَّهُ بَخِيْلٌ
"Akan tetapi dia pelit"
Sifat yang harusnya melekat pada orang yang kaya adalah dia dermawan, مُحسِنٌ
Tetapi kalau ternyata orangnya kaya tapi pelit, maka untuk mempertentangkan dua keadaan ini, menggunakan لَكِنَّ.
زَيْدٌ غَنِيٌّ لَكِنَّهُ بَخِيْلٌ
"Zaid itu kaya, akan tetapi pelit"
فَإِنَّ وَصْفَ زَيْدٍ بِالغِنَى يُوْهِمُ أَنَّهُ كَرِيْمٌ٬
Maka sesungguhnya mensifati Zaid dengan kekayaan, pasti membuat orang menyangka/mengira, bahwasanya dia itu mulia.
فَأُزِيْلَ هَذَا الوَاهْمُ بِقَوْلِنَا: لَكِنَّهُ بَخِيْلٌ (۱).
Maka dihilangkan, -dari kata أَزَالَ – يُزِيْلُ - إِزَالَةً artinya menghilangkan – persangkaan ini dengan perkataan kita
لَكِنَّهُ بَخِيْلٌ
Akan tetapi dia pelit.
Bisa dilihat di kitab Al Qawa’id Al Asaasiyah halaman 159, dan juga dalam kitab Mujibun Nada halaman 235.
■ و (كَأَنَّ):
Kemudian َكَأَنَّ
مَعْنَاهَا التَشْبِيْهُ
Maknanya adalah tasybih, penyerupaan
مِثْلُ: كَأَنَّ زَيْدًا أَسَدٌ٬
Artinya Zaid itu bagaikan singa.
Mungkin karena keberaniannya, maka kita menyerupakan sifat keberanian si Zaid dengan singa.
كَأَنَّ زَيْدًا أَسَدٌ
"Seakan-akan atau Zaid itu bagaikan singa."
وَ قَوْلِهِ تَعَالَى: ٍ﴿كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ﴾
"Seakan-akan dia itu adalah bintang."
Ini dalam surat An-Nuur ayat 35
■ وَ (لَيْتَ): مَعْنَاهَا التَمَنِّي: وَهُوَ طَلَبُ المُسْتَحِيْلِ ـغَالِبًاـ أَوِ المُمْكِنُ الحُصُوْلِ
Dan لَيْتَ maknanya adalah at-tamanniy. Apa itu tamanniy? Tamanniy pengandaian
Disini diberi penjelasan
وَهُوَ طَلَبُ المُسْتَحِيْلِ ـغَالِبًاـ
Tamanniy itu adalah meminta sesuatu yang mustahil
ـغَالِبًاـ
biasanya
أَوِ المُمْكِنُ الحُصُوْلِ
Atau bisa juga/mungkin juga terjadinya
فَالمُسْتَحِيْلُ نَحْوُ: لَيْتَ الشَبَابَ عَائِدٌ٬
Kalimat ini artinya: seandainya masa muda kembali.
Misalnya ada orang tua lagi menghayal ya, lagi tamanniy, lagi berandai-andai, umurnya sudah 60 tahun, lalu dia berkata:
لَيْتَ الشَبَابَ عَائِدٌ
"Seandainya masa muda itu kembali."
Tentu ini sesuatu yang mustahil, tidak mungkin orang tua itu bisa kembali menjadi muda usianya, kalau semangatnya mungkin bisa, tapi kalau usianya tidak mungkin.
وَالمُمْكِنُ الحُصُوْلِ نَحْوُ: لَيْتَ مُحَمَّدًا حَاضِرٌ.
Dan yang mungkin hasilnya:
لَيْتَ مُحَمَّدًا حَاضِرٌ
☆ Jadi لَيْتَ ini boleh dipakai untuk menyatakan:
1. sesuatu yang tidak mungkin atau mustahil terjadi, seperti orang sedang berandai-andai, atau
2. Boleh juga untuk sesuatu yang mungkin terjadi.
Contohnya:
لَيْتَ مُحَمَّدًا حَاضِرٌ
Misalkan kita mengundang semua teman-teman kita, tapi si Muhammad tidak datang. Maka kita mengatakan:
لَيْتَ مُحَمَّدًا حَاضِرٌ
"Seandainya si Muhammad itu hadir"
Maka لَيْتَ di sini pengandaian yang mungkin terjadi. Adapun
لَيْتَ الشَبَابَ عَائِدٌ
Ini namanya:
طَلَبُ المُسْتَحِيْلِ
meminta sesuatu yang mustahil
■ وَ (لَعَلَّ): مَعْنَاهَا: التَّرَجِّي وَالتَّوَقُّعِ ٬
Dan لَعَلَّ, maknanya adalah
التَّرَجِّي وَالتَّوَقُّعِ
Apa itu
التَّرَجِّي ?
فَالتَرْجِي فِي المَحْبُوْبِ٬
Maka yang dimaksud dengan attarajiy adalah pada sesuatu yang disukai.
Jadi لَعَلَّ ini harapan, atau do’a. Kalau tarajiy harapannya untuk sesuatu yang disukai.
نَحْوُ, لَعَلَّ اللهَ يَرْحَمُنَا٬
Semoga Allah merahmati kita.
Ini tarajiy, harapan baik. Kita mengharapkan agar kita dirahmati oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala.
وَالتَّوَقُّعُ فِي المَكْرُوْهِ٬
Dan tawaqqu’ ini, kalau kita terjemahkan kecemasan.
فِي المَكْرُوْهِ
Pada sesuatu yang kita benci.
نَحْوُ: لَعَلَّ العَدُوَّ قَادِمٌ.
tentu mengartikannya tidak, “semoga musuh itu datang”
Tetapi, “jangan-jangan musuh itu datang”.
Jadi لَعَلَّ ini merupakan kecemasan. Seperti ketika ada teman kita yang tidak masuk sekolah, kemudian kita bertanya-tanya, mana si Zaid? Mana si Zaid? Kita katakan:
لَعَلَّ زَيدًا مَرِيضٌ
Tentu ini artinya bukan, “semoga si Zaid sakit”, tapi “jangan-jangan si Zaid sakit”
Jadi لَعَلَّ ini bisa
لِلتَّرَجِّي
Harapan baik, bisa
التَّوَقُّعِ
Kecemasan.
----------------------------------------------
Kemudian… selanjutnya kita lihat disini ada
فَوَائِدُ وَ تَنْبِيْهَاتٌ:
🍂 ١- مِنَ الْفُرُوْقِ بَيْنَ (إِنَّ) الْمَكْسُوْرَةِ وَالْمَفْتُوْحَةِ الْهَمْزَةُ، أَنَّ (أَنَّ) الْمَفْتُوْحَةَ الْهَمْزَةُ لاَ تَأْتِي فِيْ صَدْرِ الْكَلاَمِ،
Diantara perbedaan diantara إِنَّ yang dikasrahkan hamzahnya dan أَنَّ yang difathahkan hamzahnya, bahwasannya أَنَّ yang difathahkan hamzahnya
لاَ تَأْتِي فِيْ صَدْرِ الْكَلاَمِ،
Tidak mungkin datang di awal kalimat.
فَلاَ بُدَّ أَنْ يَسْبِقَهَا كَلاَمٌ كَقَوْلِكَ ( بَلَغَنِيْ أَوْ أَعْجَبَنِيْ) وَ نَحْوُ ذَلِكَ.
Maka sudah semestinya, ia didahului oleh kalimat. Seperti perkataanmu:
بَلَغَنِيْ أَوْ أَعْجَبَنِيْ
Misalnya kalimatnya:
بَلَغَنِيْ أَنَّ زَيدًا عَلِيْمٌ
Atau
أَعْجَبَنِيْ أَنَّ زَيدًا مَاهِرٌ
Jadi أَنَّ, yang hamzahnya fathah, ini tidak mungkin ada di awal kalimat. Tidak mungkin kita bikin kalimat tiba-tiba langsung:
أَنَّ زَيدًا مَاهِرٌ
❌
Tidak mungkin.
Kalau kita ingin membuat kalimat di depan, pasti pakainya إِنَّ.
Kapan إِنَّ digunakan?
Anna selalu digunakan setelah adanya, biasanya pakai fi’il ya, seperti:
بَلَغَنِيْ
Telah sampai kepadaku, atau:
أَعْجَبَنِيْ
Membuatku takjub, atau
عَلِمْتُ أَنَّ
Jadi biasa diawali oleh fi’il sebelumnya.
يُنْظَرُ : شَرْحُ قَطْرُ النَّدَا
Halaman 205
Faidah yang kedua
🍂 ٢-( لَكِنَّ ) لاَ بُدَّ أَنْ يَسْبِقَهَا كَلاَمُ
Begitupun dengan لَكِنَّ, tidak boleh tidak, dia pasti di dahului oleh kalam.
Lakinna ini juga sama seperti أَنَّ, dia harus didahului oleh kalam.
وَإِذَا لَمْ تَكُنْ مُشَدَّدَةً النُّوْنِ يَجِيْبُ إِهْمَالُهَا
Dan apabila nunnya tidak bertasydid, maka wajib
إِهْمَالُهَا
Mengabaikannya.
Artinya kalau nunnya tidak bertasydid, nanti kan jadinya
لَكِنْ
Lakin لَكِنْ
dan
lakinna لَكِنَّ
ini sama-sama untuk istidrak.
Bedanya, kalau
لَكِنَّ
ini temannya إِنَّ, dia beramal seperti إِنَّ.
Tapi kalau لَكِنْ
lakin dia bukan termasuk amil nawasikh.
Makanya disini dikatakan:
فَلاَ تَعْمَلْ وَيَبْقَى مَعْنَهَا
Maka
لَكِنْ
Itu tidak beramal seperti إِنَّ.
وَيَبْقَى مَعْنَهَا
Akan tetapi maknanya tetap.
Artinya
لَكِنْ
itu maknanya sama seperti لَكِنَّ, istidrak, yaitu mempertentangkan kalimat pertama dengan kalimat kedua.
Bedanya kalau
لَكِنَّ
itu termasuk amil nawasikh, tapi kalau
لَكِنْ
bukan amil nawasikh.
وَيَبْقَى مَعْنَهَا وَهُوَ الْإْسْتِدْرَاكَ
Dan maknanya tetap, dan dia itu adalah istidrak
Jadi baik لَكِنَّ dan لَكِنْ sama-sama istidrak.
نَحوُ قَوْلِهِ تَعَالَى﴿وَمَا ظَلَمْنٰهُمْ وَلٰكِنْ كَانُوْ أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ﴾
"Dan tidaklah Kami mendhalimi mereka, akan tetapi diri mereka sendirilah yang berbuat dhalim."
وَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿ لٰكِنِ الرّٰسِخُوْنَ فِيْ الْعِلْمِ﴾.
Akan tetapi orang-orang yang roosikh (orang-orang yang kuat keilmuannya) maka لَكِنْ dalam contoh ini tidak termasuk huruf nawasikh.
Tetapi maknanya sama-sama istidrak.
Thayyib…
Silahkan dilihat dalam Qatrun Nada’ halaman 212, dan dalam kitab Mujiibun Nadaa halaman 235.
Faidah yang ketiga…
🍂 ٣- قَالَ اِبْنُ القَيِّمِ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي( لَعَلَّ) :
Berkata Ibnul Qayyim , semoga Allah merahmatinya, pada lafadz
لَعَلَّ
أِنَّمَا يُقَارِنُهَا مَعْنَى التَّرَخِي إِذَا كَانَتْ مِنَ المَخْلُوقُ،
Hanya saja, لَعَلَّ
itu dikaitkan dengan harapan, apabila yang berharap disini adalah makhluk
وَ أَمَّا فِي حَقِّ مَنْ لاَ يَصِحُ فِي حَقَّهِ التَّرَجِي فَهِيَ لِلتَّعْلِيلِ المَحِيضِ ،
Adapun pada hak seseorang yang tidak sah pada haknya itu adanya harapan, maka dia itu, (لَعَلَّ
pada kasus ini) merupakan
لِلتَّعْلِيل المَحِيضِ
adalah untuk menjelaskan sebab, alasan secara mutlak.
كَقَوْلِهِ تَعَالىَ: ﴿لَعَلَّكُم تَتَّقُونَ﴾،
"Semoga kalian bertaqwa"
وَالرَّجَاءُ اللَّذِي فِيهَا مُتَعَلِّقٌ بِالمُخَاطَبِينَ
Dan harapan yang pada ayat tersebut, yaitu:
لَعَلَّكُم تَتَّقُونَ
Ini tergantung atau berkaitan dengan
بِالمُخَاطَبِينَ
Orang-orang yang ajak, atau orang-orang yang dimaksud dalam ayat ini.
Maksudnya begini… jadi
لَعَلَّ
Itu kan maknanya
لِلتَّرَجِّي
untuk harapan, artinya semoga.
Nah, kata Ibnul Qayyim Al-Jauzi, التَّرَجِّي
itu berlaku untuk makhluk. kalau makhluk ngomong:
لَعَلَّكَ بِخَير
Maka ini adalah do’a. semoga
Tetapi kalau Allah yang bicara, maka ini bukalah harapan, tapi pasti, mutlak terjadi.
Seperti dalam ayat tentang puasa. Ayat tentang puasa itu kan ujungnya:
….لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Maka
لَعَلَّكُم تَتَّقُونَ
bukanlah harapan, tapi merupakan jaminan dari Allah, bagi siapa saja yang berpuasa maka dia pasti akan menjadi orang yang bertakwa.
Jadi ini maksud dari perkataan Ibnul Qayyim رحمه الله تعالى.
Kemudian, faidah yang keempat:
🍂 ٤. إِذَا اتَّصَلَتْ (مَا) الحَرْفِيَّةُ الزَّائدَةُ بـ(إِنَّ) وَ أخَوَاتِهَا تَكُفُّهَا عَنِ العَمَلِ فِي الجُمْلَةِ الاسْمِيَّةِ اللَّتي تَدْخُلُ عَلَيْهَا
Apabila bersambung مَا yang merupakan huruf zaidah dengan إِنَّ, -kita sering mendengar kadang إِنَّ disambung dengan مَا , seperti:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَات -
Apa yang terjadi?
تَكُفُّهَا عَنِ العَمَلِ
Maka, مَا zaidahnya ini menahan atau mencegah إِنَّ dari beramal seperti amil nawasikh.
تَكُفُّهَا عَنِ العَمَلِ فِي الجُمْلَةِ الاسْمِيَّةِ اللَّتي تَدْخُلُ عَلَيْهَا
Maka keberadaan مَا ini mencegahnya dari beramal pada jumlah ismiyyah yang kemasukan إِنَّمَا
وَتَبْقَى الجُمْلَةُ مَكَوَّنَةً مِن ْ مُبْتَدَإٍ وَ خَبَرٍ
Dan kalimatnya tetap tersusun dari mubtada dan khabar.
كَمَا كَانَتْ قَبْلَ دُخُولِ الحَرفِ النَّاسخِ
Sebagaimana sebelum kemasukan huruf nawasikh
مِثَلُ قَو لُهَ تَعَالى ؛ ( إّنَّمَا المُؤمِنونَ إخْوةٌ)
Lihat harusnya kalau إّنَّمَا ini
إّنَّ-nya
beramal, maka yang benar itu:
إّنَّمَا المُؤمِنِينَ إخْوةٌ
Tetapi dijelaskan tadi, kalau إِنَّ bersambung dengan مَا, maka batal hukum nawasikhnya. Jadi dia tidak menjadikan mubtada manshub dan khabarnya marfu’. Tetapi kembali ke hukum asalnya. Jadi intinya إّنَّمَا ini tidak punya amal. Makanya tetep
إنَّمَا المُؤمِنونَ إخْوةٌ
Kalau kita buang إنَّمَا –nya, ini tetap mubtada dan khabar.
المُؤمِنونَ إخْوةٌ
وَيُسْتَثْنَى مِنْ ذَلكِ ( لَيتَ) فَيَجُوزُ إهمَالُهَا إعْمَالُهَا.
Dan dikecualikan dari kaidah yang seperti ini,
لَيتَ
Kalau
لَيتَ
فَيَجُوزُ إهمَالُهَا إعْمَالُهَا
Maka boleh mengabaikannya, boleh pula mengamalkannya.
Lihat Syarah Qatrun Nadaa halaman 207.
Maksudnya kalau إِنَّ dan saudara-saudaranya ini kan bisa:
إّنَّمَا
كَأَنَّمَا
لَكِنَّمَا
لَعَلَّمَا
Ini semua مَا zaidah kalau nempel pada إِنَّ, ini menjadikan ia tidak lagi menjadi amil nawasikh, kecuali pada
لَيتَ
Kalau
لَيتَ
baik ada مَا –nya maupun tidak ada مَا –nya, dia boleh tetap menganggapnya ataupun mengabaikan.
Jadi ini tambahan faidah dari Mushannif, Pengarang Kitab Al Mumti’ Fii Syahril Ajurrumiyyah
=====================
Thayyib..
Barangkali cukup sampai disini.
Semoga bermanfaat.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
سبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
Dars 35 b: tambahan faidah kana
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
📝 Transkrip Materi BINAR Pekan 16
🎧 Pengisi Materi :: Ustadz Abu Razin
📚 Dars 35.b :: Bab An Nawaasikh
°°Tambahan Faidah Kaana°°
⌛ Durasi audio : 14.49 menit
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله و صحبه ومن والاه, أما بعد.
Audio ini kita didedikasikan untuk fawaid wa tanbihat dari bab An-Nawaasikh yang dulu belum sempat dibaca.
🍂 *Faidah 1*
١- قَالَ ابْنُ عُثَيْمِنُِ رَحِمَهُ اللَّهِ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى: (وَكَانَ اللَّهِ سَمِيْعًابَصِيْرًا) وَمَاأَشْبَهَهَا: هَذِهِ لَيْسَ المَعْنَى أَنَّهُ كَانَ فِيْمَا مَضٍى،بَلْ لَا يَزَالُ. تَفْسِيْرُ القُرْآنُ لِابْنِ عُثَيْمِيْنِ (١/ ١٢٦)
(1). Telah berkata Syaikhul Ibnu Utsaymin rohimalloohu 'anhu, dalam firman Allah سبحان الله تعالى :
(وَكَانَ اللهُ سَمِيْعًابَصِيْرًا)
"dan adalah Alloh Maha Mendengar lagi Maha Melihat"
dan ayat-ayat yang serupa dengannya, ayat ini bukan berarti bahwasanya Allah itu Maha Mendengar dan Melihat di masa yang lalu.
بَلْ لَا يَزَالُ
Bahkan Allah senantiasa Maha Mendengar dan Melihat.
Lihat Tafsirul Qur'an oleh Ibnu Sholih Utsaimim(1/126).
🍂 *Faidah 2*
٢- اسْمٌٰ كَانَ وَأَخَوَاتِهَا لَهُ صُوْرٌ مُختَلِفَةٌ مِنْهَا أَنَّهُ يَكُوْنُاسْمًا ظَاهِرًا
مِثْلٌ: كَانَ عَلِىٌّ قَائِمًا،
وَيَكُوْنُ ضَمِيْرًا مُتَّصِلًا مِثْلٌ:كُنْتُ قَائِمًا ,وَيَكُوْنُ ضَمِيْرًا مُسْتَتِرًا مِثْلٌ: مُحَمَّدُ كَانَ قَائِمًا،و َيَكُوْنُ ضَمِيْرًا مُنفَصِلًا مِثْلٌ: مَا كَانَ قَائِمًا إِلَّا أَنْتَ
(2). Isim كَانَ dan saudara2nya memiliki gambaran bentuk-bentuk yang berbeda-beda,
مِنْهَا أَنَّهُ يَكُوْنُاسْمًا ظَاهِرًا
Diantaranya isim Kaana ada yang dzohir
seperti:
كَانَ عَلِىٌّ قَائِمًا
('Ali itu berdiri),
Disini isim kaana dan khobarnya dzohir.
وَيَكُوْنُ ضَمِيْرًا مُتَّصِلًا مِثْلٌ:كُنْتُ قَائِمًا
Dan ada juga yang merupakan dlomir muttashil contoh:
كُنْتُ قَائِمًا
(aku yang berdiri)
Disini isim kaana tidak dzohir tapi dhomir.
Karena dalam contoh
كُنْتُ قَائِمًا
Isim kaana adalah dhomir ta'-nya maka ini contoh isim kaana yang merupakan dhomir muttashil.
وَيَكُوْنُ ضَمِيْرًا مُسْتَتِرًا مِثْلٌ: مُحَمَّدُ كَانَ قَائِمًا،
dan ada juga yang dhomir mustatir tersembunyi seperti:
مُحَمَّدُ كَانَ قَائِمًا
Karena kalau kalimatnya seperti ini maka irobnya
🔹مُحَمَّدُ Mubtada
🔹كَانَ fiil madhi Naqish merofa'kan isim dan merofa'kan khobar
Mana isimnya? Isimnya dhomir mustatir kembali kepada Muhammad.
Makanya disebutkan ia contoh yang isim kaana nya dhomir mustatir.
و َيَكُوْنُ ضَمِيْرًا مُنفَصِلًا مِثْلٌ: مَا كَانَ قَائِمًا إِلَّا أَنْتَ
dan ada juga isim kaana yang merupakan dhomir munfashil (bersambung) seperti:
مَاكَانَ قَائِمًا إّلَّا أَنْتَ
(tidak ada yang berdiri kecuali engkau).
Disini yang menjadi isimnya Kaana Anta
🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹
🍂 *Faidah 3*
٣- خَبَرُ كَانَ و أَخْوَاتِهَا مِثْلُ : خَبَرُ المُبْتَدَأ مِنْ حَيْثُ اتَنْوَعِ وَ الاَنْقَسَمِ،
فَقَدْ يَكُوْنُ مُفْرَدًا مِثْلُ : كَانَ مُحَمَّدٌ مُذَكَّرًا. وَقَدْ يَكُوْنُ جُمْلَةٌ فِعْلِيَّةٌ نَحْوُ: كَانَ مُحَمَّدٌ يُذَاكَرُ الدَّرْسَ
أَوْ جُمْلَةٌ اسْمِيَّةٌ نَحْوُ: كَانَ مُحَمَّدٌ مُذَاكَرَاتُهُ جَيِّدَةٌ .
وَ قَدْ يَكُونُ شِبْهُ جُمْلَةٍ مِنَ الجَارِ وَ المجرُوْرِ مِثْلُ: كَانَ مُحَمَّدٌ فِي البَيْتِ،
أَوْ مِنَ الظَرْفِ مِثْلُ: كَانَ مُحَمَّدٌ فَوْقَ البَيْتِ
(3) Khobar Kaana dan saudari2nya itu seperti khobar mubtada dari sisi tanawu' وَ الاَِنْقَسَمِ dari sisi macam-macam dan jenisnya.
فَقَدْ يَكُوْنُ مُفْرَدًا
Ada khobar Kaana yang mufrod sebagaimana Mubtada-Khobar khobarnya ada yang mufrod, ada yang jumlah Fi'liyyah, ada yang jumlah ismiyyah, ada yang dzorof dsb.
Contoh khobar Kaana yang Mufrod :
كَانَ مُحَمَّدٌ مُذَكَّرًا.
"Muhammad itu mengulang-ngulang pelajarannya"
وَقَدْ يَكُوْنُ جُمْلَةٌ فِعْلِيَّةٌ
Terkadang khobar kaana berupa jumlah fi'liyyah , contoh :
كَانَ مُحَمَّدٌ يُذَاكَرُ الدَّرْسَ
— Kaana fiil madhi naqish
— Isimnya adalah Muhammad
— Khobarnya kaana dalam bentuk khobar jumlah , khobar ghairu mufrod.
— yaitu keseluruhan makna dari يُذَاكَرُ الدَّرْسَ
أَوْ جُمْلَةٌ اسْمِيَّةٌ نَحْوُ: كَانَ مُحَمَّدٌ مُذَاكَرَاتُهُ جَيِّدَةً .
Atau khobar kaana dalam bentuk jumlah ismiyyah.
Contoh :
كَانَ مُحَمَّدٌ مُذَاكَرَاتُهُ جَيِّدَةٌ .
"Muhammad itu cara dia mengulang-ngulang pelajaran itu baik"
— Dalam contoh ini isim kaana adalah Muhammad
— Khobarnya keseluruhan makna
مُذَاكَرَاتُهُ جَيِّدَةٌ .
Jadi kalau kita irob secara detail :
— kaana fiil madhi naqish
— Muhammadun isim kaana
مُذَاكَرَاتُهُ جَيِّدَةٌ
— مُذَاكَرَا : mubtada
— ـه : mudhof ilaih
— جَيِّدَةٌ : مُذَاكَرَاتُه ُkhobar bagi mubtada
— Keseluruhan dari مُذَاكَرَاتُهُ جَيِّدَةٌ ini menjadi khobarnya kaana.
وَ قَدْ يَكُونُ شِبْهُ جُمْلَةٍ مِنَ الجَارِ وَ المجرُوْرِ مِثْلُ: كَانَ مُحَمَّدٌ فِي البَيْتِ،
Terkadang khobar kaana ini dari bentuk syibhu jumlah dari bentuk jar wa majrur.
Contohnya :
كَانَ مُحَمَّدٌ فِي البَيْتِ،
— Muhammad isimnya Kaana
— Khobarnya فِي البَيْتِ
أَوْ مِنَ الظَرْفِ مِثْلُ: كَانَ مُحَمَّدٌ فَوْقَ البَيْتِ
Atau syibhu jumlah dari dzorof.
Contoh :
كَانَ مُحَمَّدٌ فَوْقَ البَيْتِ
"Muhammad di atas rumah"
— Muhammad isimnya Kaana
— Khobarnya keseluruhan dari فَوْقَ البَيْتِ
وَاعْلَمْ أنَّ: خَبَرُ كَانَ إذَا كَانَ مُفْرَدًا يَكُوْنُ مَنْصُوْبًا
※ Ketahuilah bahwa khobar kaana apabila dia Mufrod maka dia dinashobkan, langsung.
Misal :
كَانَ زيدٌ قائمًا
Jelas. Manshub dengan fathah.
وَ إذَا كَانَ جُمْلَةً أَوْ شِبْهَ الجُمْلةً يَكُوْنُ فِيْ مَحَلِّ نَصْبٍ
※ Apabila khobar kaana dalam bentuk jumlah atau syibhu jumlah tentu kalau kita bilang :
كان زيد في الدار
Kita tidak bisa bilang في الدار , hanya bisa mengatakan في الدار fii mahalli nashbin khobaaru kaana.
Ini maksud dari perkataan Al-Mushonnif.
🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹
🍂 *Faidah ke-4*
٤- كَانَ وَأَخَوَاتُهَا تُسَمَّى الْأَفْعَالُ النَّاقِصَةُ،
(4) Kaana dan saudara-saudaranya dinamakan fiil Naqish, kenapa? Karena
لِعَدَمِ اكْتِفَائِهَا بِمَرْفُوْعِهَا عَنْ مَنْصُوْبِهَا؛
Karena ketiadaan ketercukupan Kaana dengan rofa'nya saja.
Bahkan kaana butuh kepada nashobnya. Jadi,
لِعَدَمِ اكْتِفَائِهَا بِمَرْفُوْعِهَا عَنْ مَنْصُوْبِهَا؛
Karena ketiadaan ketercukupan dari Kaana dengan marfu' saja, bahkan dia butuh kepada manshubnya.
لأَنَّكَ إِذَا قُلْتَ : كَانَ زَيْدٌ
Karena kalau kamu mengatakan
كَانَ زَيْدٌ
وَ لَمْ تَقُلْ : قَائِمًا،
Dan kamu tidak melanjutkannya dengan قَائِمًا jadi kita bilang كَانَ زَيْدٌ
مَثَلاً؛ كَانَ الْكَلَامُ نَاقِصًا
Tentu perkataan ini menjadi kurang. Tidak bisa dipahami.
Karena kalau kita mengatakan
كَانَ زَيْدٌ
Ini tidak bisa dipahami oleh yang mendengarkan. Harus ada manshubnya, harus ada khobarnya.
Kalau kita bilang
كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا
Barulah paham.
لأَنَّكَ إِذَا قُلْتَ : كَانَ زَيْدٌ وَ لَمْ تَقُلْ : قَائِمًا، مَثَلاً؛ كَانَ الْكَلَامُ نَاقِصًا كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا لَمْ تَحْصُلْ بِهِ فَائِدَةً لِلْمُسْتَمِعِ .
Karena kalau kamu mengatakan Kaana Zaidun saja dan kamu tidak menambahkan قَائِمًا sebagai contoh. Maka kalimat ini kurang , tidak menghasilkan faidah bagi orang yang mendengarkan.
Pasti orangnya nanya, kalau kita hanya mengatakan misalkan :
كَانَ زَيْدٌ
Pasti mereka tanya, lanjutannya apa? Pasti harus ada terusannya , misalkan :
كَانَ زَيْدٌ مجتهد
كَانَ زَيْدٌ عالما dsb
يَنْظُرُ : الكَوَاكِبَ (١/١٩٥)
Silakan dilihat di kitab Al-Kawaakib jilid 1 halaman 195.
🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹
🍂 *Faidah ke-5*
٥- يَجُوْزُ فِيْ (كَانَ، وَ أَمْسَى، وَ أَصْبَحَ، وَ أَضْحَى، وَ ظَلَّ) أَنْ تُسْتَعْمَلَ بِمَعْنَى صَارَ،
(5) Kita diperbolehkan menggunakan
كَانَ، وَ أَمْسَى، وَ أَصْبَحَ، وَ أَضْحَى، وَ ظَلَّ
dipergunakan dengan makna صَارَ "menjadi".
Hukum asalnya أَمْسَى maknanya "di waktu sore", أَصْبَحَ "di waktu subuh", أَضْحَى "di waktu dhuha" , tapi kita boleh menggunakan kalimat ini,
كَانَ، وَ أَمْسَى، وَ أَصْبَحَ، وَ أَضْحَى، وَ ظَلَّ
dengan makna صَارَ semua bermakna "menjadi".
نَحْوُ قَوْلِهِ تَعَالَى : (وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِيْنَ)
"Mereka menjadi orang-orang kafir"
(فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا)،
Artinya bukan ,
❌"Di waktu subuh kalian dengan nikmatnya menjadi saudara" bukan. ❌
Ayat ini
فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Maksudnya : "Maka kalian dengan sebab nikmat dari Allah سبحانه وتعالى menjadi إِخْوَانًا saling bersaudara"
(ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًا)
Dzolla disini bukan berarti ❌"di waktu siang wajahnya menjadi menghitam"❌ tidak!.
Tapi maksudnya :
(ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًا
"Wajahnya menjadi menghitam"
Ini maksud perkataan beliau dari
كَانَ، وَ أَمْسَى، وَ أَصْبَحَ، وَ أَضْحَى، وَ ظَلَّ
bisa digunakan dengan makna "صَارَ" (menjadi).
يَنْظُرُ : شَرْحَ الْمُفَصَّلِ، (٦ /١٠٦) وَ قَطْرَ النَّدَى ص (١٨٦) وَ حَشِيَةَ أَبِيْ النَّجَا صِ (٨٥)
Silakan dilihat di kitab syarah al-Mufashol jilid 6 halaman 106 dan di Qatrun Nada halaman 176, dan Hasyah Abi Najaa halaman 80.
🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹
🍂 *Faidah ke-6*
٦- وَرَدَتْ (بَاتَ) فِيْ مَوْضُعٍ وَاحِدٍ مِنَ الْقُرْآنِ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى (وَالَّذِيْنَ يَبِتُوْنَ لِرَبِّهَمْ سُجَّدًا وَ قِيَامًا)
(6) Baata terdapat dalam satu tempat di Alquran yaitu pada firman Allah سبحانه وتعالى
(وَالَّذِيْنَ يَبِتُوْنَ لِرَبِّهَمْ سُجَّدًا وَ قِيَامًا)
"Dan orang-orang yang bermalam menghiasi malam-malamnya mereka sujud dan mendirikan qiyaamul lail kepada Tuhan mereka".
🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹
🍂 *Faidah ke-7*
٧- لَمْ يَرِدْ (أَمْسَى) فِعْلاً نَاسِخًا فِي القَرْآنِ الكَرِيْمِ، وَ أَمَّا (أَضْحَى) فَلَمْ يُرَدْ البَتَةُ. مَعَانِي النَحْوَ للسَمِراَئِي.(٢١٨/١)
(7) Tidak terdapat (أَمْسَى) dalam bentuk fi'il yg nasikh di dalam alQur'an.
Jadi Beliau hanya ingin menegaskan kalau كان di Alquran banyak, kalau _Baata_ ada satu, tapi kalau _Amsaa_ tidak ada dalam Alquran contohnya.
_Amsaa_ yang maknanya fiil naasikh tidak ada terdapat dalam Alquran.
وَ أَمَّا (أَضْحَى) فَلَمْ يَرِدْ البَتَةُ. مَعَانِي النَحْوَ للسَمَارَئِي.(٢١٨/١)
Adapun adh-haa maka tidak ada sama sekali.
_Ini bisa dilihat dalam Ma'aniy Nahwi lissaamiroiy, jilid 1 halaman 218_.
🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹
🍂 *Faidah ke-8*
٨- إِنَّمَا اشْتُرِطَ دُخُوْلُ النَّفْيِ عَلَى زَالَ وَأخَوَاتِهَا،لأَنَّهَا بِمَعْنَى النَّفْيِ ،
فَإِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّفْيُ اِنْقَلَبَ إِثْبَاتًا فَأَفَدَتْ الاسْتِمْرَرَ. يَنْظُرُ حَاشِيَةَ أَبِي نِجَاصِ (٨٥)
(8) Harus disyaratkan masuknya nafiy atas زَالَ dan saudaranya karena زَالَ sendiri bermakna nafiy.
فَإِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّفْيُ
maka jika kita tambahkan nafiy lagi ia berubah bermakna itsbaatan.
— itsbat lawan dari nafiy
— Nafiy itu peniadaan
— Itsbat itu penetapan
فَأَفَدَتْ الاسْتِمْرَرَ
maka dengan adanya nafiy ini زَالَ ditambahkan Maa atau laa di depannya menjadi مازال bermakna istimror (senantiasa/dia terus berlangsung).
Jadi kita tahu bahwasanya di antara saudara-saudaranya Kaana disitu ada ,
مازال ، ماانفكَّ ، مافتئ, مابرح ، و مادام
Ini wajib didahului nafiy atau syibhu nafiy.
Dan keseluruhannya bermakna "senantiasa".
_Ini bisa dilihat di Hasyah Abi Najaa halaman 85._
🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹
🍂 *Faidah ke-9*
٩- وَ سُمِيَتْ (مَا) الدَخِلَةَ عَلَى (دَامَ) مَصْدَرِيَّةً؛ لأَنَّهَا تُقَدَّرُ مَعَ الفِعْلِ الَّذِيْ بَعْدَهَا بِالمَصْدَرِ، وَهُوَ الدَوَامُ، وَظُرُفِيَةً؛ لِنِيَابَتِهَا عَنِ الظُرُفِ وَهُوَ المَدَّةُ.
(9) Dan dinamakan ما yang masuk atas دام adalah ما masdariyah.
Jadi diantara yang bentuknya seperti
مازال ، ماانفكَّ ، مافتئ, مابرح
Maa-nya disebut sebagai maa nafiy.
Tapi kalau مادام maa-nya adalah maa mashdariyyah.
لأَنَّهَا تُقَدَّرُ مَعَ الفِعْلِ الَّذِيْ بَعْدَهَا بِالمَصْدَرِ،
Karena maa dalam kalimat مادام menaqdirkan fiil yang ada setelahnya menjadi seperti mashdar.
وَهُوَ الدَّوَامُ،
Dan maksudnya adalah "senantiasa/terus-menerus".
وَظَرْفِيّةً؛
Disebut juga maa-nya maa dzorfiyah, kenapa?
لِنِيَابَتِهَا عَنِ الظُرُفِ
Karena dia seperti menggantikan dzorof.
وَهُوَ المَدَّةُ.
Yaitu masa waktu/tenggang waktu.
Thayyib, barangkali cukup sampai disini semoga bermanfaat .
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
سبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
✍🏻 *Mari bersama mengambil peran. Kami menerima dengan senang hati koreksi-koreksi dari transkrip yang telah beredar Jazaakumullaahu khayran*
📝 Transkrip Materi BINAR Pekan 16
🎧 Pengisi Materi :: Ustadz Abu Razin
📚 Dars 35.b :: Bab An Nawaasikh
°°Tambahan Faidah Kaana°°
⌛ Durasi audio : 14.49 menit
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله و صحبه ومن والاه, أما بعد.
Audio ini kita didedikasikan untuk fawaid wa tanbihat dari bab An-Nawaasikh yang dulu belum sempat dibaca.
🍂 *Faidah 1*
١- قَالَ ابْنُ عُثَيْمِنُِ رَحِمَهُ اللَّهِ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى: (وَكَانَ اللَّهِ سَمِيْعًابَصِيْرًا) وَمَاأَشْبَهَهَا: هَذِهِ لَيْسَ المَعْنَى أَنَّهُ كَانَ فِيْمَا مَضٍى،بَلْ لَا يَزَالُ. تَفْسِيْرُ القُرْآنُ لِابْنِ عُثَيْمِيْنِ (١/ ١٢٦)
(1). Telah berkata Syaikhul Ibnu Utsaymin rohimalloohu 'anhu, dalam firman Allah سبحان الله تعالى :
(وَكَانَ اللهُ سَمِيْعًابَصِيْرًا)
"dan adalah Alloh Maha Mendengar lagi Maha Melihat"
dan ayat-ayat yang serupa dengannya, ayat ini bukan berarti bahwasanya Allah itu Maha Mendengar dan Melihat di masa yang lalu.
بَلْ لَا يَزَالُ
Bahkan Allah senantiasa Maha Mendengar dan Melihat.
Lihat Tafsirul Qur'an oleh Ibnu Sholih Utsaimim(1/126).
🍂 *Faidah 2*
٢- اسْمٌٰ كَانَ وَأَخَوَاتِهَا لَهُ صُوْرٌ مُختَلِفَةٌ مِنْهَا أَنَّهُ يَكُوْنُاسْمًا ظَاهِرًا
مِثْلٌ: كَانَ عَلِىٌّ قَائِمًا،
وَيَكُوْنُ ضَمِيْرًا مُتَّصِلًا مِثْلٌ:كُنْتُ قَائِمًا ,وَيَكُوْنُ ضَمِيْرًا مُسْتَتِرًا مِثْلٌ: مُحَمَّدُ كَانَ قَائِمًا،و َيَكُوْنُ ضَمِيْرًا مُنفَصِلًا مِثْلٌ: مَا كَانَ قَائِمًا إِلَّا أَنْتَ
(2). Isim كَانَ dan saudara2nya memiliki gambaran bentuk-bentuk yang berbeda-beda,
مِنْهَا أَنَّهُ يَكُوْنُاسْمًا ظَاهِرًا
Diantaranya isim Kaana ada yang dzohir
seperti:
كَانَ عَلِىٌّ قَائِمًا
('Ali itu berdiri),
Disini isim kaana dan khobarnya dzohir.
وَيَكُوْنُ ضَمِيْرًا مُتَّصِلًا مِثْلٌ:كُنْتُ قَائِمًا
Dan ada juga yang merupakan dlomir muttashil contoh:
كُنْتُ قَائِمًا
(aku yang berdiri)
Disini isim kaana tidak dzohir tapi dhomir.
Karena dalam contoh
كُنْتُ قَائِمًا
Isim kaana adalah dhomir ta'-nya maka ini contoh isim kaana yang merupakan dhomir muttashil.
وَيَكُوْنُ ضَمِيْرًا مُسْتَتِرًا مِثْلٌ: مُحَمَّدُ كَانَ قَائِمًا،
dan ada juga yang dhomir mustatir tersembunyi seperti:
مُحَمَّدُ كَانَ قَائِمًا
Karena kalau kalimatnya seperti ini maka irobnya
🔹مُحَمَّدُ Mubtada
🔹كَانَ fiil madhi Naqish merofa'kan isim dan merofa'kan khobar
Mana isimnya? Isimnya dhomir mustatir kembali kepada Muhammad.
Makanya disebutkan ia contoh yang isim kaana nya dhomir mustatir.
و َيَكُوْنُ ضَمِيْرًا مُنفَصِلًا مِثْلٌ: مَا كَانَ قَائِمًا إِلَّا أَنْتَ
dan ada juga isim kaana yang merupakan dhomir munfashil (bersambung) seperti:
مَاكَانَ قَائِمًا إّلَّا أَنْتَ
(tidak ada yang berdiri kecuali engkau).
Disini yang menjadi isimnya Kaana Anta
🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹
🍂 *Faidah 3*
٣- خَبَرُ كَانَ و أَخْوَاتِهَا مِثْلُ : خَبَرُ المُبْتَدَأ مِنْ حَيْثُ اتَنْوَعِ وَ الاَنْقَسَمِ،
فَقَدْ يَكُوْنُ مُفْرَدًا مِثْلُ : كَانَ مُحَمَّدٌ مُذَكَّرًا. وَقَدْ يَكُوْنُ جُمْلَةٌ فِعْلِيَّةٌ نَحْوُ: كَانَ مُحَمَّدٌ يُذَاكَرُ الدَّرْسَ
أَوْ جُمْلَةٌ اسْمِيَّةٌ نَحْوُ: كَانَ مُحَمَّدٌ مُذَاكَرَاتُهُ جَيِّدَةٌ .
وَ قَدْ يَكُونُ شِبْهُ جُمْلَةٍ مِنَ الجَارِ وَ المجرُوْرِ مِثْلُ: كَانَ مُحَمَّدٌ فِي البَيْتِ،
أَوْ مِنَ الظَرْفِ مِثْلُ: كَانَ مُحَمَّدٌ فَوْقَ البَيْتِ
(3) Khobar Kaana dan saudari2nya itu seperti khobar mubtada dari sisi tanawu' وَ الاَِنْقَسَمِ dari sisi macam-macam dan jenisnya.
فَقَدْ يَكُوْنُ مُفْرَدًا
Ada khobar Kaana yang mufrod sebagaimana Mubtada-Khobar khobarnya ada yang mufrod, ada yang jumlah Fi'liyyah, ada yang jumlah ismiyyah, ada yang dzorof dsb.
Contoh khobar Kaana yang Mufrod :
كَانَ مُحَمَّدٌ مُذَكَّرًا.
"Muhammad itu mengulang-ngulang pelajarannya"
وَقَدْ يَكُوْنُ جُمْلَةٌ فِعْلِيَّةٌ
Terkadang khobar kaana berupa jumlah fi'liyyah , contoh :
كَانَ مُحَمَّدٌ يُذَاكَرُ الدَّرْسَ
— Kaana fiil madhi naqish
— Isimnya adalah Muhammad
— Khobarnya kaana dalam bentuk khobar jumlah , khobar ghairu mufrod.
— yaitu keseluruhan makna dari يُذَاكَرُ الدَّرْسَ
أَوْ جُمْلَةٌ اسْمِيَّةٌ نَحْوُ: كَانَ مُحَمَّدٌ مُذَاكَرَاتُهُ جَيِّدَةً .
Atau khobar kaana dalam bentuk jumlah ismiyyah.
Contoh :
كَانَ مُحَمَّدٌ مُذَاكَرَاتُهُ جَيِّدَةٌ .
"Muhammad itu cara dia mengulang-ngulang pelajaran itu baik"
— Dalam contoh ini isim kaana adalah Muhammad
— Khobarnya keseluruhan makna
مُذَاكَرَاتُهُ جَيِّدَةٌ .
Jadi kalau kita irob secara detail :
— kaana fiil madhi naqish
— Muhammadun isim kaana
مُذَاكَرَاتُهُ جَيِّدَةٌ
— مُذَاكَرَا : mubtada
— ـه : mudhof ilaih
— جَيِّدَةٌ : مُذَاكَرَاتُه ُkhobar bagi mubtada
— Keseluruhan dari مُذَاكَرَاتُهُ جَيِّدَةٌ ini menjadi khobarnya kaana.
وَ قَدْ يَكُونُ شِبْهُ جُمْلَةٍ مِنَ الجَارِ وَ المجرُوْرِ مِثْلُ: كَانَ مُحَمَّدٌ فِي البَيْتِ،
Terkadang khobar kaana ini dari bentuk syibhu jumlah dari bentuk jar wa majrur.
Contohnya :
كَانَ مُحَمَّدٌ فِي البَيْتِ،
— Muhammad isimnya Kaana
— Khobarnya فِي البَيْتِ
أَوْ مِنَ الظَرْفِ مِثْلُ: كَانَ مُحَمَّدٌ فَوْقَ البَيْتِ
Atau syibhu jumlah dari dzorof.
Contoh :
كَانَ مُحَمَّدٌ فَوْقَ البَيْتِ
"Muhammad di atas rumah"
— Muhammad isimnya Kaana
— Khobarnya keseluruhan dari فَوْقَ البَيْتِ
وَاعْلَمْ أنَّ: خَبَرُ كَانَ إذَا كَانَ مُفْرَدًا يَكُوْنُ مَنْصُوْبًا
※ Ketahuilah bahwa khobar kaana apabila dia Mufrod maka dia dinashobkan, langsung.
Misal :
كَانَ زيدٌ قائمًا
Jelas. Manshub dengan fathah.
وَ إذَا كَانَ جُمْلَةً أَوْ شِبْهَ الجُمْلةً يَكُوْنُ فِيْ مَحَلِّ نَصْبٍ
※ Apabila khobar kaana dalam bentuk jumlah atau syibhu jumlah tentu kalau kita bilang :
كان زيد في الدار
Kita tidak bisa bilang في الدار , hanya bisa mengatakan في الدار fii mahalli nashbin khobaaru kaana.
Ini maksud dari perkataan Al-Mushonnif.
🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹
🍂 *Faidah ke-4*
٤- كَانَ وَأَخَوَاتُهَا تُسَمَّى الْأَفْعَالُ النَّاقِصَةُ،
(4) Kaana dan saudara-saudaranya dinamakan fiil Naqish, kenapa? Karena
لِعَدَمِ اكْتِفَائِهَا بِمَرْفُوْعِهَا عَنْ مَنْصُوْبِهَا؛
Karena ketiadaan ketercukupan Kaana dengan rofa'nya saja.
Bahkan kaana butuh kepada nashobnya. Jadi,
لِعَدَمِ اكْتِفَائِهَا بِمَرْفُوْعِهَا عَنْ مَنْصُوْبِهَا؛
Karena ketiadaan ketercukupan dari Kaana dengan marfu' saja, bahkan dia butuh kepada manshubnya.
لأَنَّكَ إِذَا قُلْتَ : كَانَ زَيْدٌ
Karena kalau kamu mengatakan
كَانَ زَيْدٌ
وَ لَمْ تَقُلْ : قَائِمًا،
Dan kamu tidak melanjutkannya dengan قَائِمًا jadi kita bilang كَانَ زَيْدٌ
مَثَلاً؛ كَانَ الْكَلَامُ نَاقِصًا
Tentu perkataan ini menjadi kurang. Tidak bisa dipahami.
Karena kalau kita mengatakan
كَانَ زَيْدٌ
Ini tidak bisa dipahami oleh yang mendengarkan. Harus ada manshubnya, harus ada khobarnya.
Kalau kita bilang
كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا
Barulah paham.
لأَنَّكَ إِذَا قُلْتَ : كَانَ زَيْدٌ وَ لَمْ تَقُلْ : قَائِمًا، مَثَلاً؛ كَانَ الْكَلَامُ نَاقِصًا كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا لَمْ تَحْصُلْ بِهِ فَائِدَةً لِلْمُسْتَمِعِ .
Karena kalau kamu mengatakan Kaana Zaidun saja dan kamu tidak menambahkan قَائِمًا sebagai contoh. Maka kalimat ini kurang , tidak menghasilkan faidah bagi orang yang mendengarkan.
Pasti orangnya nanya, kalau kita hanya mengatakan misalkan :
كَانَ زَيْدٌ
Pasti mereka tanya, lanjutannya apa? Pasti harus ada terusannya , misalkan :
كَانَ زَيْدٌ مجتهد
كَانَ زَيْدٌ عالما dsb
يَنْظُرُ : الكَوَاكِبَ (١/١٩٥)
Silakan dilihat di kitab Al-Kawaakib jilid 1 halaman 195.
🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹
🍂 *Faidah ke-5*
٥- يَجُوْزُ فِيْ (كَانَ، وَ أَمْسَى، وَ أَصْبَحَ، وَ أَضْحَى، وَ ظَلَّ) أَنْ تُسْتَعْمَلَ بِمَعْنَى صَارَ،
(5) Kita diperbolehkan menggunakan
كَانَ، وَ أَمْسَى، وَ أَصْبَحَ، وَ أَضْحَى، وَ ظَلَّ
dipergunakan dengan makna صَارَ "menjadi".
Hukum asalnya أَمْسَى maknanya "di waktu sore", أَصْبَحَ "di waktu subuh", أَضْحَى "di waktu dhuha" , tapi kita boleh menggunakan kalimat ini,
كَانَ، وَ أَمْسَى، وَ أَصْبَحَ، وَ أَضْحَى، وَ ظَلَّ
dengan makna صَارَ semua bermakna "menjadi".
نَحْوُ قَوْلِهِ تَعَالَى : (وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِيْنَ)
"Mereka menjadi orang-orang kafir"
(فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا)،
Artinya bukan ,
❌"Di waktu subuh kalian dengan nikmatnya menjadi saudara" bukan. ❌
Ayat ini
فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Maksudnya : "Maka kalian dengan sebab nikmat dari Allah سبحانه وتعالى menjadi إِخْوَانًا saling bersaudara"
(ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًا)
Dzolla disini bukan berarti ❌"di waktu siang wajahnya menjadi menghitam"❌ tidak!.
Tapi maksudnya :
(ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًا
"Wajahnya menjadi menghitam"
Ini maksud perkataan beliau dari
كَانَ، وَ أَمْسَى، وَ أَصْبَحَ، وَ أَضْحَى، وَ ظَلَّ
bisa digunakan dengan makna "صَارَ" (menjadi).
يَنْظُرُ : شَرْحَ الْمُفَصَّلِ، (٦ /١٠٦) وَ قَطْرَ النَّدَى ص (١٨٦) وَ حَشِيَةَ أَبِيْ النَّجَا صِ (٨٥)
Silakan dilihat di kitab syarah al-Mufashol jilid 6 halaman 106 dan di Qatrun Nada halaman 176, dan Hasyah Abi Najaa halaman 80.
🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹
🍂 *Faidah ke-6*
٦- وَرَدَتْ (بَاتَ) فِيْ مَوْضُعٍ وَاحِدٍ مِنَ الْقُرْآنِ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى (وَالَّذِيْنَ يَبِتُوْنَ لِرَبِّهَمْ سُجَّدًا وَ قِيَامًا)
(6) Baata terdapat dalam satu tempat di Alquran yaitu pada firman Allah سبحانه وتعالى
(وَالَّذِيْنَ يَبِتُوْنَ لِرَبِّهَمْ سُجَّدًا وَ قِيَامًا)
"Dan orang-orang yang bermalam menghiasi malam-malamnya mereka sujud dan mendirikan qiyaamul lail kepada Tuhan mereka".
🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹
🍂 *Faidah ke-7*
٧- لَمْ يَرِدْ (أَمْسَى) فِعْلاً نَاسِخًا فِي القَرْآنِ الكَرِيْمِ، وَ أَمَّا (أَضْحَى) فَلَمْ يُرَدْ البَتَةُ. مَعَانِي النَحْوَ للسَمِراَئِي.(٢١٨/١)
(7) Tidak terdapat (أَمْسَى) dalam bentuk fi'il yg nasikh di dalam alQur'an.
Jadi Beliau hanya ingin menegaskan kalau كان di Alquran banyak, kalau _Baata_ ada satu, tapi kalau _Amsaa_ tidak ada dalam Alquran contohnya.
_Amsaa_ yang maknanya fiil naasikh tidak ada terdapat dalam Alquran.
وَ أَمَّا (أَضْحَى) فَلَمْ يَرِدْ البَتَةُ. مَعَانِي النَحْوَ للسَمَارَئِي.(٢١٨/١)
Adapun adh-haa maka tidak ada sama sekali.
_Ini bisa dilihat dalam Ma'aniy Nahwi lissaamiroiy, jilid 1 halaman 218_.
🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹
🍂 *Faidah ke-8*
٨- إِنَّمَا اشْتُرِطَ دُخُوْلُ النَّفْيِ عَلَى زَالَ وَأخَوَاتِهَا،لأَنَّهَا بِمَعْنَى النَّفْيِ ،
فَإِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّفْيُ اِنْقَلَبَ إِثْبَاتًا فَأَفَدَتْ الاسْتِمْرَرَ. يَنْظُرُ حَاشِيَةَ أَبِي نِجَاصِ (٨٥)
(8) Harus disyaratkan masuknya nafiy atas زَالَ dan saudaranya karena زَالَ sendiri bermakna nafiy.
فَإِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّفْيُ
maka jika kita tambahkan nafiy lagi ia berubah bermakna itsbaatan.
— itsbat lawan dari nafiy
— Nafiy itu peniadaan
— Itsbat itu penetapan
فَأَفَدَتْ الاسْتِمْرَرَ
maka dengan adanya nafiy ini زَالَ ditambahkan Maa atau laa di depannya menjadi مازال bermakna istimror (senantiasa/dia terus berlangsung).
Jadi kita tahu bahwasanya di antara saudara-saudaranya Kaana disitu ada ,
مازال ، ماانفكَّ ، مافتئ, مابرح ، و مادام
Ini wajib didahului nafiy atau syibhu nafiy.
Dan keseluruhannya bermakna "senantiasa".
_Ini bisa dilihat di Hasyah Abi Najaa halaman 85._
🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹
🍂 *Faidah ke-9*
٩- وَ سُمِيَتْ (مَا) الدَخِلَةَ عَلَى (دَامَ) مَصْدَرِيَّةً؛ لأَنَّهَا تُقَدَّرُ مَعَ الفِعْلِ الَّذِيْ بَعْدَهَا بِالمَصْدَرِ، وَهُوَ الدَوَامُ، وَظُرُفِيَةً؛ لِنِيَابَتِهَا عَنِ الظُرُفِ وَهُوَ المَدَّةُ.
(9) Dan dinamakan ما yang masuk atas دام adalah ما masdariyah.
Jadi diantara yang bentuknya seperti
مازال ، ماانفكَّ ، مافتئ, مابرح
Maa-nya disebut sebagai maa nafiy.
Tapi kalau مادام maa-nya adalah maa mashdariyyah.
لأَنَّهَا تُقَدَّرُ مَعَ الفِعْلِ الَّذِيْ بَعْدَهَا بِالمَصْدَرِ،
Karena maa dalam kalimat مادام menaqdirkan fiil yang ada setelahnya menjadi seperti mashdar.
وَهُوَ الدَّوَامُ،
Dan maksudnya adalah "senantiasa/terus-menerus".
وَظَرْفِيّةً؛
Disebut juga maa-nya maa dzorfiyah, kenapa?
لِنِيَابَتِهَا عَنِ الظُرُفِ
Karena dia seperti menggantikan dzorof.
وَهُوَ المَدَّةُ.
Yaitu masa waktu/tenggang waktu.
Thayyib, barangkali cukup sampai disini semoga bermanfaat .
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
سبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
✍🏻 *Mari bersama mengambil peran. Kami menerima dengan senang hati koreksi-koreksi dari transkrip yang telah beredar Jazaakumullaahu khayran*
Dars 35: An Nawasikh (kana & saudaranya
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
📝 Transkrip Materi BINAR Pekan 16
🎧 Pengisi Materi :: Ustadz Abu Razin
📚 Dars 35 :: Bab An Nawaasikh
°°Kaana dan Saudaranya°°
⌛ Durasi audio :: 24.49 menit
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله و صحبه ومن والاه, أما بعد.
Alhamdulillah kita lanjutkan pelajaran kita dari Kitab Al Mumti’ Fii Syahril Ajurrumiyyah, dan alhamdulillah kita sudah sampai ke بَابُ النَّوَاسِخِ, bab tentang Amil-amil perusak.
قَالَ الْمُصَنِّفُ رحمه الله تعالى
بَابُ العَوَامِلِ الدَّاخِلَةِ عَلَى المُبْتَدَإ وَالخَبَرِ : وَ هِيَ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ :
١ ★ كَانَ وَأَخَوَتُهَا،
٢ ★ وَإِنَّ وَأَخَوَاتُهَا،
٣ ★ وَظَنَنْتُ وَ أَخَوَاتُهَا
🍁🍃 Bab tentang amil-amil yang masuk atas mubtada dan khabar🍁🍃
Dan dia itu ada 3:
1☆. Kaana dan saudaranya,
2☆. Inna dan saudaranya,dan
3☆. Dzhanantu dan saudaranya.
الشَّرْحُ :
Penjelasan:
المُبْتَدَأُ وَالخَبَرُ مَرْفُوْعَانِ،
Mubtada dan khabar itu keduanya rofa’.
وَلَكِنْ قَدْ يَدْخُلُ عَلَيْهِمَا عَامِلٌ لَفْظِيٌّ فَيُغَيِّرُ وَيَنْسَخُ حُكْمَهُمَا السَّابِقَ، وَتُسَمَّى هَذِهِ العَوَامِلَ بِا النَّوَاسِخِ.
Jadi hukum asalnya mubtada dan khabar itu marfu’ keduanya.
Akan tetapi terkadang, mubtada dan khabar ini kemasukan amil lafdzi, amil yang berupa lafadz,
Maka amilnya itu mengubah dan menghapus hukum keduanya yang lalu.
Yang artinya, yang asalnya mubtada dan khabar itu marfu’, bisa berubah menjadi yang lain.
وَتُسَمَّى هَذِهِ العَوَامِلَ بِا النَّوَاسِخِ.
Dan dinanamakan seluruh amil ini dengan An-Nawaasikh النَّوَاسِخِ.
Dari kata نَسَخَ , yaitu artinya adalah perusak.
Kenapa dinamakan annawasikh, dari kata نَاسِخٌ
Bentuk jamak dari نَاسِخٌ.
Karena amil-amil ini, yaitu kaana, inna, dan dzhana, ini merusak mubtada dan khabar yang asalnya marfu keduanya.
Sebagaimana nanti akan kita pelajari.
○○ Kalau kaana itu menjadikan isimnya tetap marfu’, tapi khabarnya jadi manshub.
○○ Adapun inna, sebaliknya, isimnya atau mubtadanya jadi manshub, khabarnya tetap marfu’.
○○ Adapun dzhanantu dan saudaranya, ia menashabkan keduanya.
Bahkan kalau dzhanantu dan saudaranya, ini benar-benar mengubah mubtada dan khabar, menjadi manshub keduanya.
وَالنَّوَاسِخُ : هِيَ : جَمْعُ نَاسِخٍ،
Dan النَّوَاسِخُ merupakan jamak dari kata: نَاسِخٌ
وَالنَّسْخُ فِي اللُّغَةِ لَهُ مَعَانٍ
Dan naskh, menghapus, ini di dalam bahasa memiliki banyak makna, مِنْهَا : الإزَالَةُ،
Diantaranya: الإزَالَةُ
Artinya "menghilangkan".
يُقَالُ : نَسَخَتِ الشَّمْسُ الظِّلَّ إذَا أَزَالَتْهُ.
Contohnya, dikatakan:
نَسَخَتِ الشَّمْسُ الظِّلَّ إذَا أَزَالَتْهُ.
"Matahari menghapus bayangan".
Artinya, kalau ada matahari, tentu bayangan itu menghilang.
إذَا أَزَالَتْهُ.
"Apabila ia menghilangkannya"
وَفِي الاِصْطِلاَحِ : إِزَالَةُ حُكْمِ المُبْتَدَإِ وَالخَبَرِ.
Dan di dalam istilah إِزَالَةُ ini adalah menghapus, atau menghilangkan hukum mubtada dan khabar.
■ أَنْوَاعُهَا : هِيَ ثَلاَثَةُ أَنْوَاعٍ :
■ Macam amil nawasikh ini ada 3
🔸🔹🔸١ - مَا يَرْفَعُ المُبْتَدَأَ وَيَنْصِبُ الخَبَرَ،
🏷 Yang pertama:: yang merofa’kan mubtada, dan menashabkan khabar
🍁 وَهِيَ : كَانَ وَ أَخَوَاتُهَا،
Dan dia itu adalah kaana dan saudara-saudaranya.
وَكُلُّهَا أَفْعَالٌ،
Dan semuanya ini, yaitu Kaana dan saudaranya, adalah fiil.
وَيُسَمَّى الأوَّلُ مِنْ مَعْمُولَي (كَانَ) إِسْمَهَا، وَيُسَمَّى الثَّانِي : خَبَرَهَا، مِثْلُ : كَانَ زَيْدٌ نَشِيْطًا
Dan dinamakan yang pertama dari dua ma’mulnya kaana.
*kalau ada istilah ‘amil, nanti ada istilah ma’mul*.
*Jadi ‘amil itu faktor yang menjadikan sesuatu berubah*.
Adapun *ma’mul adalah istilah untuk kata yang diubah dengan sebab adanya ‘amil.*
Kalau kita bicara kaana, maka ada dua ma’mul. Karena kaana ini dia merusak mubtada dan khabar.
Ketika ada kaana didepannya, kita tidak lagi mengatakan kaana, kemudian mubtadanya kaana dan khabarnya kaana, tapi kita ganti istilahnya menjadi isimnya kaana.
Jadi yang asalnya namanya mubtada, ketika ada kaana, ma’mulnya ini dinamakan isimnya kaana.-
Adapun yang kedua, asalnya khabar mubtada, menjadi khabar kaana.
Contohnya:
كَانَ زَيْدٌ نَشِيْطًا.
☆ Zaidun زَيْدٌ disini sebagai isimnya kaana, marfu’,
☆ Kemudian نَشِيْطًا sebagai khabar kaana, manshub
🔸🔹🔸٢ - مَا يَنْصِبُ المُبْتَدَأَ وَيَرْفَعُ الخَبَرَ،
🏷 Yang kedua:
√ Apa yang menashabkan mubtada dan merofa’kan khabar.
Ini lawannya kaana. Kalau kaana merofa’kan mubtada dan menashabkan khabar.
Adapun yang ini yaitu inna dan saudaranya, dia menashabkan mubtada’ dan merofa’kan khabar.
🍁 وَهِيَ : إِنَّ وَأَخَوَاتُهَا،
Dan dia itu adalah inna dan saudaranya
وَهِيَ حُرُوْفٌ،
🅾 Inna dan saudaranya ini adalah huruf,
🅾 sebagaimana kaana dan saudaranya adalah fi’il semua.
Jadi ini, harus kita ingat-ingat dan pahami bahwa, kalau kaana dan saudaranya adalah semuanya adalah fi’il.
Meskipun fi’ilnya adalah fi’il naqish, fi’il yang kurang.
Kenapa dikatakan kurang?
==» Karena dia fi’il tapi tidak ada failnya.
Jadi dia fi’il tapi bukannya punya fail, tapi dia punyanya isim dan khabar.
Inilah kenapa disebut dengan fi’il naqish. Salah satu sebabnya seperti itu.
Kemudian kalau inna dan saudara2nya, itu semuanya adalah huruf, bukan fi’il.
وَيُسَمَّى الأَوَّلُ مِنْ مَعْمُولَي (إِنَّ) إِسْمَهَا، وَيُسَمَّى الثَّانِي خَبَرَهَا،
Dan dinamakan ma’mul yang pertama, adalah isimnya inna.
_sama seperti kaana tadi, mubtadanya diganti namanya menjadi isim inna_.
Dan dinamakan yang kedua khabarnya inna.
»» مِثْلُ إنَّ زَيْدًا نَشِيْطٌ.
Perhatikan, kalau kaana ::
»» كَانَ زَيْدٌ نَشِيْطًا.
Kalau inna,
»» إنَّ زَيْدًا نَشِيْطٌ.
Kebalikannya kaana.
Dimana إنَّ زَيْدًا نَشِيْطٌ ::
» Zaidan زَيْدًا Isimnya inna, manshub,
» dan نَشِيْطٌ Khabarnya inna, marfu
🔸🔹🔸٣- مَا يَنْصِبُ المُبْتَدَأَ وَالخَبَرَ،
🏷 Yang ketiga:
√ Yang menashabkan mubtada dan khabar.
Jadi kalau tadi kaana dan inna salah satunya saja yang dinashabkan.
Tapi kalau dzanantu dan saudaranya ini, ini dua-duanya dinashabkan, mubtada maupun khabar keduanya manshub.
🍁 وَ هِيَ : ظَنَّ وَ أَخَوَاتُهَا، وَهِيَ أَفْعَالٌ
Dan yang menashabkan mubtada dan khabar ini adalah dzanna dan saudara2nya
وَهِيَ أَفْعَالٌ
Dzanna dan saudaranya ini adalah fi’il.
وَيُسَمَّى الأَوَّلُ مِنْ مَعْمُولَي (ظَنَّ) وَأَخَوَاتِهَا : مَفْعُوْلاً أَوَّلاً،
Dinamakan ma’mul yang pertama dari dua ma’mulnya dzanna dan saudaranya adalah maf’ul awwal,
وَالثَّانِي مَفْعُوْلاً ثَانِيًا،
dan ma’mul yang kedua disebut sebagai maf’ul tsani.
مِثْلُ : ظَنَنْتُ زَيْدًا نَشِيْطًا.
Jadi ini juga ada istilah yang berbeda.
Jadi kalau kaana dan inna menggunakan istilah ::
●● isimnya kaana , khabarnya kaana
●● isimnya inna ,khabarnya inna
●● adapun dzanantu, istilahnya bukan isim dan khabar, tapi maf’ul, maf’ul awwal – maf’ul tsani.
Karena dzanna dan saudara-saudaranya ini termasuk yang menashabkan dua isim.
Jadi butuh kepada dua maf’ul.
Kalau biasanya kalau kita membuat kalimat yang ada maf’ulbihnya, cukup satu ya, misalkan kita katakan:
رَكِبْتُ الفَرَسَ
"Saya menunggangi kuda"
Cukup satu saja…
Adapun dzanantu dan saudaranya, ini mafulnya perlu dua.
Sebagaimana kita katakan
ظَنَنْتُ زَيْدًا نَشِيْطًا.
"Saya menyangka Zaid itu rajin"
Kalau kita hanya mengatakan
√ ظَنَنْتُ زَيْدًا saja
Tidak faham kita, “saya menyangka si Zaid”, kenapa si Zaid?
»» Harus disempurnakan dengan نَشِيْطًا.
Dibawahnya ini ada semacam bagan ya, bahwa Annawasikh ada 3:
1. كَانَ وَأَخَوَاتُهَا,
2. إِنَّ وَ أَخَوَاتُهَا
3. ظَنَّ وَ اَخَوَاتُهَا
🍂 Dimana كَانَ وَأَخَوَاتُهَا,
⬅ تَرْفَعُ الاسْمَ وَتَنْصِبُ الخَبَرَ
à contohnya كَانَ زَيْدٌ نَشِيْطًا
🍂 Adapun إِنَّ وَ أَخَوَاتُهَا
⬅ تَنْصِبُ الاسْمَ وَتَرْفَعُ الخَبَرَ
à contohnya إَنَّ زَيْدًا نَشِيْطٌ
🍂 Dan ظَنَّ وَ اَخَوَاتُهَا
⬅ تَنْصِبُ ألاسْمَ وَالخَبَرِ (menashobkan keduanya)
à contohnya ظَنَنْتُ زَيْدًا نَشِيْطًا.
Thayyib…
------------------------------------------------------------
Kita bahas yang pertama dulu:
أُوَّلاً: كَانَ أَخَوَاتُهَا
🌴 Yang pertama: *Kaana dan Saudara2nya*
قَالَ المُصَنِّفُ:
Berkata penulis:
(فَأَمَّا كَانَ وَ أَخَوَاتُهَا: فَإِنَّهَا تَرْفَعُ الاسْمَ، وَ تَنْصِبُ الخَبَرَ،
Maka adapun kaana dan saudara-saudaranya, maka dia itu merofa’kan isim dan menashabkan khabar.
※※ وَ هِيَ: كَانَ، وَ أَمْسَى، وَ أَصْبَحَ، وَ أَضْحَى، وَ ظَلَّ، وَ بَاتَ، وَ صَارَ، وَ لَيْسَ، وَ مَازَالَ، وَ مَاانفَكَّ، وَ مَافَتِئَ، وَ مَابَرِحَ، وَ مَادَامَ، وَ مَاتَصَرَّفَ مِنْهَا،
Dan kaana dan saudaranya itu adalah:
â 🍀 كَانَ،
â 🍀 أَمْسَى, di waktu sore
â 🍀 أَصْبَحَ، di waktu subuh
â 🍀 أَضْحَى، di waktu dhuha
Dan memang *saudaranya kaana ini kebanyakannya adalah keterangan waktu.*
â 🍀 ظَلَّ، di waktu siang
â 🍀 بَاتَ، di waktu malam
â 🍀 صَارَ، menjadi
â 🍀 لَيْسَ، tidak
â 🍀 مَازَالَ، مَاانفَكَّ, مَافَتِئَ، مَابَرِحَ، مَادَامَ
→semua artinya senantiasa
وَ مَاتَصَرَّفَ مِنْهَا
»» dan apa2 yang di tasrif darinya.
Artinya tidak cuma كَانَ saja, tapi
يَكُونُ – كُنْ
jadi bukan hanya fiil madhi kaananya saja, tapi turunan/tasrifannya kaana, seperti:
كَانَ – كَانَا – كَانُوا , dan seterusnya
Begitupun tasrif istilahiy-nya ::
كَانَ – يَكُونُ – كُنْ
Ini semuanya juga bisa menjadi amil nawasikh.
ini yang dimaksud dengan وَمَاتَصَرَّفَ مِنْهَا
نَحْوُ: كَانَ، وَ يَكُوْنُ، وَ كُنْ، وَأَصْبَحَ، وَيُصْبِحُ، وَأَصْبِحْ
Contohnya:
كَانَ – يَكُونُ – كُنْ
أَصْبَحَ – يُصْبِحُ - أَصْبِحْ
Jadi yang menjadi amil nawasikh bukan hanya fi’il madhinya saja, bukan hanya أَصْبَحَ saja.
Tapi mudhari’nya يُصْبِحُ
Fiil amrnya أَصْبِحْ
Ini semuanya juga berlaku amil nawasikh
√ تَقُوْلُ: كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا،
"Zaid itu berdiri"
√ وَلَيْسَ عَمْرٌو شَاخِصًا
"Dan tidaklah si Amr hadir"
وَ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ
Dan apa-apa yang menyerupai yang demikian
●● الشَرْحُ:
●● Penjelasan ●●
كَانَ وَ أَخَوَاتُهَا: هِيَ: كَانَ، وَ أَمْسَى، وَ أَصْبَحَ، وَ أَضْحَى، وَ ظَلَّ، وَ بَاتَ، وَ صَارَ، وَ لَيْسَ، وَ مَازَالَ، وَ مَاانفَكَّ، وَ مَافَتِئَ، وَ مَابَرِحَ، وَ مَادَامَ.
Kaana dan saudara-saudaranya itu adalah:
*كَانَ، أَمْسَى، أَصْبَحَ، أَضْحَى، ظَلَّ، بَاتَ، صَارَ، لَيْسَ، مَازَالَ، مَاانفَكَّ، مَافَتِئَ، مَابَرِحَ، مَادَامَ.*
Kalau kita menemukan yang semacam ini, patut bagi kita untuk menghafalnya. Karena Jurumiyyah ini, Masya Allah, merupakan kitab yang ringkas.
Dengan kita menghafalnya, maka ini akan memudahkan dalam berhujjah, di dalam bidang nahwu.
Jadi sekalipun kita agak sulit menghafal matan Al Jurrumiyyah secara keseluruhan, maka minimal kita menghafalkan huruf-huruf atau amil-amil yang disebutkan dalam kitab Jurrumiyyah ini.
Mungkin kita tidak punya waktu untuk menghafal keseluruhan teks dari bab tentang nawasikh ini.
Minimal ketika ada pembagian amil-amil seperti ini, kita hafal.
Jadi minimal kita hafal yang ininya. Kita hafalkan amil nawasikh, kaana dan saudaranya itu.
كَانَ، أَمْسَى، أَصْبَحَ، أَضْحَى، ظَلَّ، بَاتَ، صَارَ، لَيْسَ، مَازَالَ، مَاانفَكَّ، مَافَتِئَ، مَابَرِحَ، مَادَامَ.
Ini harus dihafalkan.
عَمَلُهَا: تَرْفَعُ الاسْمَ وَ تَنْصِبُ الخَبَرَ.
*Amalnya adalah merofa’kan isim dan menashabkan khabar.*
مِثَالُهَا: كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا.
Contohnya:
√ كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا.
Asalnya
√ زَيْدٌ قَائِمٌ
"Zaid berdiri"
Ketika ada كَانَ berubah hukumnya, jadi
◎◎ كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا.
إِعْرَابُهُ:
I’rabnya:
√ كَانَ: فِعْلٌ مَاضٍ نَاسِخٌ يَرْفَعُ الاسْمَ وَ يَنْصِبُ الخَبَرَ.
Ini cara i’rab kaana ya..
Kaana adalah fi’il madhi naasikh, merofa’kan isim dan menashabkan khabar
√ زَيْدٌ: اسْمُ كَانَ مَرْفُوْعٌ، وَ عَلَامَةُ رَفْعِهِ الضَمَّةُ الظَاهِرَةُ عَلَى آخِرِهِ.
√ قَائِمًا: خَبَرُ كَانَ مَنْصُوْبٌ وَ عَلَامَةُ نَصْبِهِ الفَتْحَةُ الظَاهِرَةُ عَلَى آخِرِهِ.
Ini insya Allah cukup jelas.
-------------------------------------
وَ كَانَ وَ أَخَوَاتُهَا تَنْقَسِمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
○●» أَحَدُهَا: مَا يَعْمَلُ هَذَا العَمَلَ بِلَاشَرْطٍ:
○وَ هِيَ ثَمَانِيَةُ أَلفَاظٍ:
Jadi kaana dan saudaranya ini, terbagi menjadi tiga kelompok.
🔸🔸*Yang pertama:*
*kelompok yang beramal seperti amal ini, yakni merofa’kan isim dan menashabkan khabar, dengan tanpa syarat.*
Pokoknya langsung berlaku tentang amil nawasikh, dan itu ada 8 lafadz, yaitu:
💧 ١- كَانَ
💧٢- أَمْسَى،
💧٣- أَصْبَحَ،
💧٤- َ أَضْحَى،
💧٥- ظَلَّ،
💧٦- بَاتَ،
💧٧- صَارَ،
💧٨- لَيْسَ
Apa itu kaana?
○○ *كَانَ:* وَ هِيَ تُفِيْدُ اتِّصَافَ الاسْمِ بِالخَبَرِ فِي المَاضِي، مِثْلُ: كَانَ البَرْدُ شَدِيْدًا.
_Kaana ini digunakan yang memberikan faidah, berupa اتِّصَافَ الاسْمِ mensifati isim dengan khabar pada masa lalu_
مِثْلُ: كَانَ البَرْدُ شَدِيْدًا.
Barusan,
Kaana كَانَ itu telah terjadi di lampau.
البَرْدُ شَدِيْدًا.
"Dinginnya itu sangat"
Syadiidan شَدِيْدًا artinya "Sangat", “barusan sangat dingin”
○○ *أَمْسَى* »» وَ هِيَ تُفِيْدُ اتِّصَافَ الاسْمِ بِالخَبَرِ فِي المَسَاءِ، مِثْلُ: أَمْسَى زَيْدٌ ذَاكِرًا.
Adapun amsaa yakni bermanfaat/berfaidah untuk mensifati isim dengan khabar di waktu sore.
Contohnya:
◎ أَمْسَى زَيْدٌ ذَاكِرًا.
"Di waktu sore si Zaid itu ingat/berdzikir"
○○ *أَصْبَحَ* »» وَ هِيَ تُفِيْدُ اتِّصَافَ الاسْمِ بِالخَبَرِ فِي الصَّبَاحِ،
Dan ashbaha ini berfaidah mensifati isim dengan khabar di waktu subuh.
Contohnya:
◎ أَصْبَحَ البَرْدُ شَدِيْدًا.
"Diwaktu subuh sangat dingin."
○○ *أَضْحَى* »» وَهِيَ تُفِيْدُ اتِّصَافَ الاسْمِ بِالْخَبَرِ فِيْ الضُّحَى، مِثْلُ: أَضْحَى زَيْدٌ نَشِيْطًا.
Adh-ha ini mensifati isim dengan khabar di waktu dhuha.
Contohnya:
◎ أَضْحَى زَيْدٌ نَشِيْطًا.
"Diwaktu dhuha, Zaid itu rajin."
○○ *ظَلَّ* »» وَهِيَ تُفِيْدُ اتِّصَافَ الاسْمِ بِالْخَبَرِ فِيْ النَّهَارِ، مِثْلُ: ظَلَّ زَيْدٌ صَائِمًا.
Jadi ini mensifati isim dengan khabar di waktu siang.
Contohnya:
ظَلَّ زَيْدٌ صَائِمًا.
"Diwaktu siang, Zaid itu berpuasa."
○○ *بَاتَ* »» وَهِيَ تُفِيْدُ اتِّصَافَ الاسْمِ بِالْخَبَرِ فِيْ الْلَّيْلِ، مِثْلُ: بَاتَ زَيْدٌ مُصَلِّيًا.
Jadi بَاتَ ini berfaidah untuk memberikan sifat isim dengan khabar di waktu malam.
Contohnya:
بَاتَ زَيْدٌ مُصَلِّيًا.
"Diwaktu malam Zaid itu shalat."
○○ *صَارَ* »» وَهِيَ تُفِيْدُ تَحَوُّلَ الاسْمِ إٍلَى الْحَالَةِ الَّتِيْ يَدُلُّ عَلَيْهَا الْخَبَرُ:
Adapun صَارَ berfaidah merubah isim kepada kondisi yang ditunjuki oleh khabar.
Jadi kalau صَارَ ini, merubah kondisi isim kepada kondisi yang ditujukan oleh khabar.
Contohnya:
صَارَ الْعَجِيْنُ خُبْزًا
"Tepung itu menjadi roti."
Dimana disini, menunjukkan bahwa tepung ini berubah menjadi roti.
○○ *لَيْسَ* »» وَهِيَ تُفِيْدُ نَفْيَ الْخَبَرِ عَنِ الاسْمِ، مِثْلُ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَىِٰ﴾
Adapun لَيْسَ , dia berfaidah untuk menafikan khabar dari isim .
Contohnya adalah firman Allah Subhaana wa Ta’ala :
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَىِٰ
"Dan tidaklah laki-laki itu seperti wanita."
Ini dalam Surat Ali Imran ayat 36.
--------------------------------------------
وَالثَّانِي: مَا يَعْمَلُ بِشَرْطِ تَقَدُّمِ نَفْيٍ:
🔸🔸*Dan yang kedua:*
Jadi kalau 8 lafadz yang tadi, dari كَانَ sampai لَيْسَ, tidak ada syaratnya.
Memang semuanya adalah amil nawasikh.
Adapun kelompok yang kedua, *kelompok yang beramal dengan syarat didahului oleh nafiy.*
وَهُوَ أَرْبَعَةُ أَلْفَاظٍ
Dan dia itu ada 4 lafadz, yaitu:
🍁 ١- زَالَ،
🍁 ٢- بَرِحَ،
🍁 ٣- فَتِئَ،
🍁 ٤- انْفَكَّ
=» وَهِيَ تُفِيْدُ الْاِسْتِمْرَارَ،
Dan dia berfaidah berkelanjutan, senantiasa.
نَحْوُ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ: "مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ
Contohnya sabda Rasulullah Shallallahu’alayhi wassalam
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ
"Senantiasa"
Jadi مَا زَالَ itu artinya
الْاِسْتِمْرَارَ
Selalu, berkelanjutan
“Senantiasa Jibril itu mewasiatkan/memberikan wasiat kepadaku tentang tetangga”
Ini merupakan hadits Mutafaqun ‘alayh dari Ibnu Umar dan ‘Aisyah radhiallahu’anhum ‘ajma’iin.
وَنَحْوُ قَوْلِكَ: مَا بَرِحَ زَيْدٌ قَارِئًا،
"Senantiasa si Zaid itu membaca"
وَمَا فَتِئَ عَمْرٌو ذَاكِرًا،
"Dan senantiasa Amr itu berdzikir"
وَمَا انْفَكَّ بَكْرٌ مُصَلِّيًا.
"Dan Bakr itu senantiasa shalat."
Jadi kalau 🔹زَالَ، بَرِحَ، فَتِئَ، انْفَكَّ🔹
🍁 Tidak beramal seperti amil nawasikh, kecuali kalau di depannya ada nafiy.
Seperti مَا atau لَا
Jadi مَازَالَ، مَاانفَكَّ، مَافَتِئَ، مَابَرِحَ
Kalau tanpa مَا di depannya atau لَا didepannya, maka ini tidak berlaku amil nawasikh, ini syarat.
--------------------------------------------
وَالثَّالِثُ: مَا يَعْمَلُ بِشَرْطِ تَقَدُّمِ (مَا) المَصْدَرِيَّةِ الظَّرْفِيَّةِ:
🔸🔸*Yang ketiga:*
*Apa yang beramal dengan syarat ia didahului مَا mashdariyyah dzarfiyyah*
وَهُوَ (دَامَ) لَا غَيْرُ،
Dan dia itu adalah دَامَ saja, tiada ada yang lain. Artinya cuma دَامَ.
وَهِيَ تُفِيْدُ بَيَانَ المُدَّةِ،
Dan dia itu menjelaskan, memberi faidah
بَيَانَ المُدَّةِ
menjelaskan مُدَّةِ (itu masa waktu).
نَحْوُ قَوْلِ تَعَالَى:﴿وأَوْصَنِي بِالصَّلَوةِ وَالَّزَّكَوةِ مَا دُمْتُ حَيًّا﴾(۳)
"Dan Ia mewasiati aku supaya shalat dan zakat, مَا دُمْتُ حَيًّا selama saya hidup"
*Jadi مَادَامَ »» Memberikan faidah, menjelaskan tenggat waktu.*
Artinya dalam ayat ini,
وأَوْصَنِي بِالصَّلَوةِ وَالَّزَّكَوةِ مَا دُمْتُ حَيًّا
menunjukkan bahwa yang diwasiatkan kepadanya untuk melakukan shalat dan zakat, kapan?
مَا دُمْتُ حَيًّا
“selama saya hidup”
Jadi ini menjelaskan tenggat waktu atau masa waktu.
أَيْ مُدَّةَ دَوَامِي حَيًّا
"Artinya sepanjang aku hidup"
وَ مَعْنَى قَوْلِ الْمُصَنِّفِ رَحِمَهُ اللّٰهُ:
(وَمَا تَصَرَّفَ مِنْهَا ) أَيْ مِنْ كَانَ وَ أَخَوَاتِهَا ، فَإِنَّهُ يَعْمَلُ عَمَلَ الْمَضِي، سَوَاءٌ كَانَ مُضَارِعًا أوْ أَمَرًا أَوْ غَيْرُ ذَالِكَ، تَقُوْلُ :
🔹 كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا،
🔹 وَ يَكُوْنُ زَيْدٌ قَائِمًا،
🔹 وَ كُنْ قَائِمًا.
Adapun maksud dari perkataan Mushannif رَحِمَهُ اللّٰهُ تَعَالى ::
وَمَا تَصَرَّفَ مِنْهَا
Maksudnya, dari kaana dan saudaranya.
Artinya tasrifan dari
كَانَ، أَمْسَى، أَصْبَحَ، أَضْحَى، ظَلَّ، dan seterusnya
Ini juga beramal, sebagai amail nawasikh.
------------
فَإِنَّهُ يَعْمَلُ عَمَلَ الْمَضِي،
Maka sesungguhnya ia itu beramal, seperti amalan fi’il madhinya.
سَوَاءٌ كَانَ مُضَارِعًا أوْ أَمَرًا أَوْ غَيْرُ ذَالِكَ
Sama saja apakah ia adalah fi’il mudhari’ atau amr, atau yang selain itu.
تَقُوْلُ : كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا، وَ يَكُوْنُ زَيْدٌ قَائِمًا، وَ كُنْ قَائِمًا.
Artinya baik fiil mudhari’nya, ataupun fi’il amrnya, itu beramal seperti fi’il madhinya.
○○ Yaitu merofa’kan isim, dan menashabkan khabar.
Ini yang dimaksud dengan
يَعْمَلُ عَمَلَ الْمَضِي
Jadi bukan berarti mudhari’ dan amrpun maknanya madhi, tapi yang dimaksud disini adalah mudhari dan amrnya mengikuti fi’il madhinya.
Yaitu sama-sama merafakan isim dan menashabkan khabar.
وَقَوْلُهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلَامُ :
◎◎ ﴿لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ﴾
Dan sabda Nabi Shallallahu’alayhi Wassalam,
“senantiasa lisanmu basah dari berdzikir kepada Allah 'Azza wa Jalla”
Ini hadits riwayat Ahmad dari Abdullah bin Busyr radhiallahu’anhu.
Ana rasa cukup disini ya, karena sudah lumayan panjang audionya.
Semoga bermanfaat.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
سبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
📝 Transkrip Materi BINAR Pekan 16
🎧 Pengisi Materi :: Ustadz Abu Razin
📚 Dars 35 :: Bab An Nawaasikh
°°Kaana dan Saudaranya°°
⌛ Durasi audio :: 24.49 menit
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله و صحبه ومن والاه, أما بعد.
Alhamdulillah kita lanjutkan pelajaran kita dari Kitab Al Mumti’ Fii Syahril Ajurrumiyyah, dan alhamdulillah kita sudah sampai ke بَابُ النَّوَاسِخِ, bab tentang Amil-amil perusak.
قَالَ الْمُصَنِّفُ رحمه الله تعالى
بَابُ العَوَامِلِ الدَّاخِلَةِ عَلَى المُبْتَدَإ وَالخَبَرِ : وَ هِيَ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ :
١ ★ كَانَ وَأَخَوَتُهَا،
٢ ★ وَإِنَّ وَأَخَوَاتُهَا،
٣ ★ وَظَنَنْتُ وَ أَخَوَاتُهَا
🍁🍃 Bab tentang amil-amil yang masuk atas mubtada dan khabar🍁🍃
Dan dia itu ada 3:
1☆. Kaana dan saudaranya,
2☆. Inna dan saudaranya,dan
3☆. Dzhanantu dan saudaranya.
الشَّرْحُ :
Penjelasan:
المُبْتَدَأُ وَالخَبَرُ مَرْفُوْعَانِ،
Mubtada dan khabar itu keduanya rofa’.
وَلَكِنْ قَدْ يَدْخُلُ عَلَيْهِمَا عَامِلٌ لَفْظِيٌّ فَيُغَيِّرُ وَيَنْسَخُ حُكْمَهُمَا السَّابِقَ، وَتُسَمَّى هَذِهِ العَوَامِلَ بِا النَّوَاسِخِ.
Jadi hukum asalnya mubtada dan khabar itu marfu’ keduanya.
Akan tetapi terkadang, mubtada dan khabar ini kemasukan amil lafdzi, amil yang berupa lafadz,
Maka amilnya itu mengubah dan menghapus hukum keduanya yang lalu.
Yang artinya, yang asalnya mubtada dan khabar itu marfu’, bisa berubah menjadi yang lain.
وَتُسَمَّى هَذِهِ العَوَامِلَ بِا النَّوَاسِخِ.
Dan dinanamakan seluruh amil ini dengan An-Nawaasikh النَّوَاسِخِ.
Dari kata نَسَخَ , yaitu artinya adalah perusak.
Kenapa dinamakan annawasikh, dari kata نَاسِخٌ
Bentuk jamak dari نَاسِخٌ.
Karena amil-amil ini, yaitu kaana, inna, dan dzhana, ini merusak mubtada dan khabar yang asalnya marfu keduanya.
Sebagaimana nanti akan kita pelajari.
○○ Kalau kaana itu menjadikan isimnya tetap marfu’, tapi khabarnya jadi manshub.
○○ Adapun inna, sebaliknya, isimnya atau mubtadanya jadi manshub, khabarnya tetap marfu’.
○○ Adapun dzhanantu dan saudaranya, ia menashabkan keduanya.
Bahkan kalau dzhanantu dan saudaranya, ini benar-benar mengubah mubtada dan khabar, menjadi manshub keduanya.
وَالنَّوَاسِخُ : هِيَ : جَمْعُ نَاسِخٍ،
Dan النَّوَاسِخُ merupakan jamak dari kata: نَاسِخٌ
وَالنَّسْخُ فِي اللُّغَةِ لَهُ مَعَانٍ
Dan naskh, menghapus, ini di dalam bahasa memiliki banyak makna, مِنْهَا : الإزَالَةُ،
Diantaranya: الإزَالَةُ
Artinya "menghilangkan".
يُقَالُ : نَسَخَتِ الشَّمْسُ الظِّلَّ إذَا أَزَالَتْهُ.
Contohnya, dikatakan:
نَسَخَتِ الشَّمْسُ الظِّلَّ إذَا أَزَالَتْهُ.
"Matahari menghapus bayangan".
Artinya, kalau ada matahari, tentu bayangan itu menghilang.
إذَا أَزَالَتْهُ.
"Apabila ia menghilangkannya"
وَفِي الاِصْطِلاَحِ : إِزَالَةُ حُكْمِ المُبْتَدَإِ وَالخَبَرِ.
Dan di dalam istilah إِزَالَةُ ini adalah menghapus, atau menghilangkan hukum mubtada dan khabar.
■ أَنْوَاعُهَا : هِيَ ثَلاَثَةُ أَنْوَاعٍ :
■ Macam amil nawasikh ini ada 3
🔸🔹🔸١ - مَا يَرْفَعُ المُبْتَدَأَ وَيَنْصِبُ الخَبَرَ،
🏷 Yang pertama:: yang merofa’kan mubtada, dan menashabkan khabar
🍁 وَهِيَ : كَانَ وَ أَخَوَاتُهَا،
Dan dia itu adalah kaana dan saudara-saudaranya.
وَكُلُّهَا أَفْعَالٌ،
Dan semuanya ini, yaitu Kaana dan saudaranya, adalah fiil.
وَيُسَمَّى الأوَّلُ مِنْ مَعْمُولَي (كَانَ) إِسْمَهَا، وَيُسَمَّى الثَّانِي : خَبَرَهَا، مِثْلُ : كَانَ زَيْدٌ نَشِيْطًا
Dan dinamakan yang pertama dari dua ma’mulnya kaana.
*kalau ada istilah ‘amil, nanti ada istilah ma’mul*.
*Jadi ‘amil itu faktor yang menjadikan sesuatu berubah*.
Adapun *ma’mul adalah istilah untuk kata yang diubah dengan sebab adanya ‘amil.*
Kalau kita bicara kaana, maka ada dua ma’mul. Karena kaana ini dia merusak mubtada dan khabar.
Ketika ada kaana didepannya, kita tidak lagi mengatakan kaana, kemudian mubtadanya kaana dan khabarnya kaana, tapi kita ganti istilahnya menjadi isimnya kaana.
Jadi yang asalnya namanya mubtada, ketika ada kaana, ma’mulnya ini dinamakan isimnya kaana.-
Adapun yang kedua, asalnya khabar mubtada, menjadi khabar kaana.
Contohnya:
كَانَ زَيْدٌ نَشِيْطًا.
☆ Zaidun زَيْدٌ disini sebagai isimnya kaana, marfu’,
☆ Kemudian نَشِيْطًا sebagai khabar kaana, manshub
🔸🔹🔸٢ - مَا يَنْصِبُ المُبْتَدَأَ وَيَرْفَعُ الخَبَرَ،
🏷 Yang kedua:
√ Apa yang menashabkan mubtada dan merofa’kan khabar.
Ini lawannya kaana. Kalau kaana merofa’kan mubtada dan menashabkan khabar.
Adapun yang ini yaitu inna dan saudaranya, dia menashabkan mubtada’ dan merofa’kan khabar.
🍁 وَهِيَ : إِنَّ وَأَخَوَاتُهَا،
Dan dia itu adalah inna dan saudaranya
وَهِيَ حُرُوْفٌ،
🅾 Inna dan saudaranya ini adalah huruf,
🅾 sebagaimana kaana dan saudaranya adalah fi’il semua.
Jadi ini, harus kita ingat-ingat dan pahami bahwa, kalau kaana dan saudaranya adalah semuanya adalah fi’il.
Meskipun fi’ilnya adalah fi’il naqish, fi’il yang kurang.
Kenapa dikatakan kurang?
==» Karena dia fi’il tapi tidak ada failnya.
Jadi dia fi’il tapi bukannya punya fail, tapi dia punyanya isim dan khabar.
Inilah kenapa disebut dengan fi’il naqish. Salah satu sebabnya seperti itu.
Kemudian kalau inna dan saudara2nya, itu semuanya adalah huruf, bukan fi’il.
وَيُسَمَّى الأَوَّلُ مِنْ مَعْمُولَي (إِنَّ) إِسْمَهَا، وَيُسَمَّى الثَّانِي خَبَرَهَا،
Dan dinamakan ma’mul yang pertama, adalah isimnya inna.
_sama seperti kaana tadi, mubtadanya diganti namanya menjadi isim inna_.
Dan dinamakan yang kedua khabarnya inna.
»» مِثْلُ إنَّ زَيْدًا نَشِيْطٌ.
Perhatikan, kalau kaana ::
»» كَانَ زَيْدٌ نَشِيْطًا.
Kalau inna,
»» إنَّ زَيْدًا نَشِيْطٌ.
Kebalikannya kaana.
Dimana إنَّ زَيْدًا نَشِيْطٌ ::
» Zaidan زَيْدًا Isimnya inna, manshub,
» dan نَشِيْطٌ Khabarnya inna, marfu
🔸🔹🔸٣- مَا يَنْصِبُ المُبْتَدَأَ وَالخَبَرَ،
🏷 Yang ketiga:
√ Yang menashabkan mubtada dan khabar.
Jadi kalau tadi kaana dan inna salah satunya saja yang dinashabkan.
Tapi kalau dzanantu dan saudaranya ini, ini dua-duanya dinashabkan, mubtada maupun khabar keduanya manshub.
🍁 وَ هِيَ : ظَنَّ وَ أَخَوَاتُهَا، وَهِيَ أَفْعَالٌ
Dan yang menashabkan mubtada dan khabar ini adalah dzanna dan saudara2nya
وَهِيَ أَفْعَالٌ
Dzanna dan saudaranya ini adalah fi’il.
وَيُسَمَّى الأَوَّلُ مِنْ مَعْمُولَي (ظَنَّ) وَأَخَوَاتِهَا : مَفْعُوْلاً أَوَّلاً،
Dinamakan ma’mul yang pertama dari dua ma’mulnya dzanna dan saudaranya adalah maf’ul awwal,
وَالثَّانِي مَفْعُوْلاً ثَانِيًا،
dan ma’mul yang kedua disebut sebagai maf’ul tsani.
مِثْلُ : ظَنَنْتُ زَيْدًا نَشِيْطًا.
Jadi ini juga ada istilah yang berbeda.
Jadi kalau kaana dan inna menggunakan istilah ::
●● isimnya kaana , khabarnya kaana
●● isimnya inna ,khabarnya inna
●● adapun dzanantu, istilahnya bukan isim dan khabar, tapi maf’ul, maf’ul awwal – maf’ul tsani.
Karena dzanna dan saudara-saudaranya ini termasuk yang menashabkan dua isim.
Jadi butuh kepada dua maf’ul.
Kalau biasanya kalau kita membuat kalimat yang ada maf’ulbihnya, cukup satu ya, misalkan kita katakan:
رَكِبْتُ الفَرَسَ
"Saya menunggangi kuda"
Cukup satu saja…
Adapun dzanantu dan saudaranya, ini mafulnya perlu dua.
Sebagaimana kita katakan
ظَنَنْتُ زَيْدًا نَشِيْطًا.
"Saya menyangka Zaid itu rajin"
Kalau kita hanya mengatakan
√ ظَنَنْتُ زَيْدًا saja
Tidak faham kita, “saya menyangka si Zaid”, kenapa si Zaid?
»» Harus disempurnakan dengan نَشِيْطًا.
Dibawahnya ini ada semacam bagan ya, bahwa Annawasikh ada 3:
1. كَانَ وَأَخَوَاتُهَا,
2. إِنَّ وَ أَخَوَاتُهَا
3. ظَنَّ وَ اَخَوَاتُهَا
🍂 Dimana كَانَ وَأَخَوَاتُهَا,
⬅ تَرْفَعُ الاسْمَ وَتَنْصِبُ الخَبَرَ
à contohnya كَانَ زَيْدٌ نَشِيْطًا
🍂 Adapun إِنَّ وَ أَخَوَاتُهَا
⬅ تَنْصِبُ الاسْمَ وَتَرْفَعُ الخَبَرَ
à contohnya إَنَّ زَيْدًا نَشِيْطٌ
🍂 Dan ظَنَّ وَ اَخَوَاتُهَا
⬅ تَنْصِبُ ألاسْمَ وَالخَبَرِ (menashobkan keduanya)
à contohnya ظَنَنْتُ زَيْدًا نَشِيْطًا.
Thayyib…
------------------------------------------------------------
Kita bahas yang pertama dulu:
أُوَّلاً: كَانَ أَخَوَاتُهَا
🌴 Yang pertama: *Kaana dan Saudara2nya*
قَالَ المُصَنِّفُ:
Berkata penulis:
(فَأَمَّا كَانَ وَ أَخَوَاتُهَا: فَإِنَّهَا تَرْفَعُ الاسْمَ، وَ تَنْصِبُ الخَبَرَ،
Maka adapun kaana dan saudara-saudaranya, maka dia itu merofa’kan isim dan menashabkan khabar.
※※ وَ هِيَ: كَانَ، وَ أَمْسَى، وَ أَصْبَحَ، وَ أَضْحَى، وَ ظَلَّ، وَ بَاتَ، وَ صَارَ، وَ لَيْسَ، وَ مَازَالَ، وَ مَاانفَكَّ، وَ مَافَتِئَ، وَ مَابَرِحَ، وَ مَادَامَ، وَ مَاتَصَرَّفَ مِنْهَا،
Dan kaana dan saudaranya itu adalah:
â 🍀 كَانَ،
â 🍀 أَمْسَى, di waktu sore
â 🍀 أَصْبَحَ، di waktu subuh
â 🍀 أَضْحَى، di waktu dhuha
Dan memang *saudaranya kaana ini kebanyakannya adalah keterangan waktu.*
â 🍀 ظَلَّ، di waktu siang
â 🍀 بَاتَ، di waktu malam
â 🍀 صَارَ، menjadi
â 🍀 لَيْسَ، tidak
â 🍀 مَازَالَ، مَاانفَكَّ, مَافَتِئَ، مَابَرِحَ، مَادَامَ
→semua artinya senantiasa
وَ مَاتَصَرَّفَ مِنْهَا
»» dan apa2 yang di tasrif darinya.
Artinya tidak cuma كَانَ saja, tapi
يَكُونُ – كُنْ
jadi bukan hanya fiil madhi kaananya saja, tapi turunan/tasrifannya kaana, seperti:
كَانَ – كَانَا – كَانُوا , dan seterusnya
Begitupun tasrif istilahiy-nya ::
كَانَ – يَكُونُ – كُنْ
Ini semuanya juga bisa menjadi amil nawasikh.
ini yang dimaksud dengan وَمَاتَصَرَّفَ مِنْهَا
نَحْوُ: كَانَ، وَ يَكُوْنُ، وَ كُنْ، وَأَصْبَحَ، وَيُصْبِحُ، وَأَصْبِحْ
Contohnya:
كَانَ – يَكُونُ – كُنْ
أَصْبَحَ – يُصْبِحُ - أَصْبِحْ
Jadi yang menjadi amil nawasikh bukan hanya fi’il madhinya saja, bukan hanya أَصْبَحَ saja.
Tapi mudhari’nya يُصْبِحُ
Fiil amrnya أَصْبِحْ
Ini semuanya juga berlaku amil nawasikh
√ تَقُوْلُ: كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا،
"Zaid itu berdiri"
√ وَلَيْسَ عَمْرٌو شَاخِصًا
"Dan tidaklah si Amr hadir"
وَ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ
Dan apa-apa yang menyerupai yang demikian
●● الشَرْحُ:
●● Penjelasan ●●
كَانَ وَ أَخَوَاتُهَا: هِيَ: كَانَ، وَ أَمْسَى، وَ أَصْبَحَ، وَ أَضْحَى، وَ ظَلَّ، وَ بَاتَ، وَ صَارَ، وَ لَيْسَ، وَ مَازَالَ، وَ مَاانفَكَّ، وَ مَافَتِئَ، وَ مَابَرِحَ، وَ مَادَامَ.
Kaana dan saudara-saudaranya itu adalah:
*كَانَ، أَمْسَى، أَصْبَحَ، أَضْحَى، ظَلَّ، بَاتَ، صَارَ، لَيْسَ، مَازَالَ، مَاانفَكَّ، مَافَتِئَ، مَابَرِحَ، مَادَامَ.*
Kalau kita menemukan yang semacam ini, patut bagi kita untuk menghafalnya. Karena Jurumiyyah ini, Masya Allah, merupakan kitab yang ringkas.
Dengan kita menghafalnya, maka ini akan memudahkan dalam berhujjah, di dalam bidang nahwu.
Jadi sekalipun kita agak sulit menghafal matan Al Jurrumiyyah secara keseluruhan, maka minimal kita menghafalkan huruf-huruf atau amil-amil yang disebutkan dalam kitab Jurrumiyyah ini.
Mungkin kita tidak punya waktu untuk menghafal keseluruhan teks dari bab tentang nawasikh ini.
Minimal ketika ada pembagian amil-amil seperti ini, kita hafal.
Jadi minimal kita hafal yang ininya. Kita hafalkan amil nawasikh, kaana dan saudaranya itu.
كَانَ، أَمْسَى، أَصْبَحَ، أَضْحَى، ظَلَّ، بَاتَ، صَارَ، لَيْسَ، مَازَالَ، مَاانفَكَّ، مَافَتِئَ، مَابَرِحَ، مَادَامَ.
Ini harus dihafalkan.
عَمَلُهَا: تَرْفَعُ الاسْمَ وَ تَنْصِبُ الخَبَرَ.
*Amalnya adalah merofa’kan isim dan menashabkan khabar.*
مِثَالُهَا: كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا.
Contohnya:
√ كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا.
Asalnya
√ زَيْدٌ قَائِمٌ
"Zaid berdiri"
Ketika ada كَانَ berubah hukumnya, jadi
◎◎ كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا.
إِعْرَابُهُ:
I’rabnya:
√ كَانَ: فِعْلٌ مَاضٍ نَاسِخٌ يَرْفَعُ الاسْمَ وَ يَنْصِبُ الخَبَرَ.
Ini cara i’rab kaana ya..
Kaana adalah fi’il madhi naasikh, merofa’kan isim dan menashabkan khabar
√ زَيْدٌ: اسْمُ كَانَ مَرْفُوْعٌ، وَ عَلَامَةُ رَفْعِهِ الضَمَّةُ الظَاهِرَةُ عَلَى آخِرِهِ.
√ قَائِمًا: خَبَرُ كَانَ مَنْصُوْبٌ وَ عَلَامَةُ نَصْبِهِ الفَتْحَةُ الظَاهِرَةُ عَلَى آخِرِهِ.
Ini insya Allah cukup jelas.
-------------------------------------
وَ كَانَ وَ أَخَوَاتُهَا تَنْقَسِمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
○●» أَحَدُهَا: مَا يَعْمَلُ هَذَا العَمَلَ بِلَاشَرْطٍ:
○وَ هِيَ ثَمَانِيَةُ أَلفَاظٍ:
Jadi kaana dan saudaranya ini, terbagi menjadi tiga kelompok.
🔸🔸*Yang pertama:*
*kelompok yang beramal seperti amal ini, yakni merofa’kan isim dan menashabkan khabar, dengan tanpa syarat.*
Pokoknya langsung berlaku tentang amil nawasikh, dan itu ada 8 lafadz, yaitu:
💧 ١- كَانَ
💧٢- أَمْسَى،
💧٣- أَصْبَحَ،
💧٤- َ أَضْحَى،
💧٥- ظَلَّ،
💧٦- بَاتَ،
💧٧- صَارَ،
💧٨- لَيْسَ
Apa itu kaana?
○○ *كَانَ:* وَ هِيَ تُفِيْدُ اتِّصَافَ الاسْمِ بِالخَبَرِ فِي المَاضِي، مِثْلُ: كَانَ البَرْدُ شَدِيْدًا.
_Kaana ini digunakan yang memberikan faidah, berupa اتِّصَافَ الاسْمِ mensifati isim dengan khabar pada masa lalu_
مِثْلُ: كَانَ البَرْدُ شَدِيْدًا.
Barusan,
Kaana كَانَ itu telah terjadi di lampau.
البَرْدُ شَدِيْدًا.
"Dinginnya itu sangat"
Syadiidan شَدِيْدًا artinya "Sangat", “barusan sangat dingin”
○○ *أَمْسَى* »» وَ هِيَ تُفِيْدُ اتِّصَافَ الاسْمِ بِالخَبَرِ فِي المَسَاءِ، مِثْلُ: أَمْسَى زَيْدٌ ذَاكِرًا.
Adapun amsaa yakni bermanfaat/berfaidah untuk mensifati isim dengan khabar di waktu sore.
Contohnya:
◎ أَمْسَى زَيْدٌ ذَاكِرًا.
"Di waktu sore si Zaid itu ingat/berdzikir"
○○ *أَصْبَحَ* »» وَ هِيَ تُفِيْدُ اتِّصَافَ الاسْمِ بِالخَبَرِ فِي الصَّبَاحِ،
Dan ashbaha ini berfaidah mensifati isim dengan khabar di waktu subuh.
Contohnya:
◎ أَصْبَحَ البَرْدُ شَدِيْدًا.
"Diwaktu subuh sangat dingin."
○○ *أَضْحَى* »» وَهِيَ تُفِيْدُ اتِّصَافَ الاسْمِ بِالْخَبَرِ فِيْ الضُّحَى، مِثْلُ: أَضْحَى زَيْدٌ نَشِيْطًا.
Adh-ha ini mensifati isim dengan khabar di waktu dhuha.
Contohnya:
◎ أَضْحَى زَيْدٌ نَشِيْطًا.
"Diwaktu dhuha, Zaid itu rajin."
○○ *ظَلَّ* »» وَهِيَ تُفِيْدُ اتِّصَافَ الاسْمِ بِالْخَبَرِ فِيْ النَّهَارِ، مِثْلُ: ظَلَّ زَيْدٌ صَائِمًا.
Jadi ini mensifati isim dengan khabar di waktu siang.
Contohnya:
ظَلَّ زَيْدٌ صَائِمًا.
"Diwaktu siang, Zaid itu berpuasa."
○○ *بَاتَ* »» وَهِيَ تُفِيْدُ اتِّصَافَ الاسْمِ بِالْخَبَرِ فِيْ الْلَّيْلِ، مِثْلُ: بَاتَ زَيْدٌ مُصَلِّيًا.
Jadi بَاتَ ini berfaidah untuk memberikan sifat isim dengan khabar di waktu malam.
Contohnya:
بَاتَ زَيْدٌ مُصَلِّيًا.
"Diwaktu malam Zaid itu shalat."
○○ *صَارَ* »» وَهِيَ تُفِيْدُ تَحَوُّلَ الاسْمِ إٍلَى الْحَالَةِ الَّتِيْ يَدُلُّ عَلَيْهَا الْخَبَرُ:
Adapun صَارَ berfaidah merubah isim kepada kondisi yang ditunjuki oleh khabar.
Jadi kalau صَارَ ini, merubah kondisi isim kepada kondisi yang ditujukan oleh khabar.
Contohnya:
صَارَ الْعَجِيْنُ خُبْزًا
"Tepung itu menjadi roti."
Dimana disini, menunjukkan bahwa tepung ini berubah menjadi roti.
○○ *لَيْسَ* »» وَهِيَ تُفِيْدُ نَفْيَ الْخَبَرِ عَنِ الاسْمِ، مِثْلُ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَىِٰ﴾
Adapun لَيْسَ , dia berfaidah untuk menafikan khabar dari isim .
Contohnya adalah firman Allah Subhaana wa Ta’ala :
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَىِٰ
"Dan tidaklah laki-laki itu seperti wanita."
Ini dalam Surat Ali Imran ayat 36.
--------------------------------------------
وَالثَّانِي: مَا يَعْمَلُ بِشَرْطِ تَقَدُّمِ نَفْيٍ:
🔸🔸*Dan yang kedua:*
Jadi kalau 8 lafadz yang tadi, dari كَانَ sampai لَيْسَ, tidak ada syaratnya.
Memang semuanya adalah amil nawasikh.
Adapun kelompok yang kedua, *kelompok yang beramal dengan syarat didahului oleh nafiy.*
وَهُوَ أَرْبَعَةُ أَلْفَاظٍ
Dan dia itu ada 4 lafadz, yaitu:
🍁 ١- زَالَ،
🍁 ٢- بَرِحَ،
🍁 ٣- فَتِئَ،
🍁 ٤- انْفَكَّ
=» وَهِيَ تُفِيْدُ الْاِسْتِمْرَارَ،
Dan dia berfaidah berkelanjutan, senantiasa.
نَحْوُ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ: "مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ
Contohnya sabda Rasulullah Shallallahu’alayhi wassalam
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ
"Senantiasa"
Jadi مَا زَالَ itu artinya
الْاِسْتِمْرَارَ
Selalu, berkelanjutan
“Senantiasa Jibril itu mewasiatkan/memberikan wasiat kepadaku tentang tetangga”
Ini merupakan hadits Mutafaqun ‘alayh dari Ibnu Umar dan ‘Aisyah radhiallahu’anhum ‘ajma’iin.
وَنَحْوُ قَوْلِكَ: مَا بَرِحَ زَيْدٌ قَارِئًا،
"Senantiasa si Zaid itu membaca"
وَمَا فَتِئَ عَمْرٌو ذَاكِرًا،
"Dan senantiasa Amr itu berdzikir"
وَمَا انْفَكَّ بَكْرٌ مُصَلِّيًا.
"Dan Bakr itu senantiasa shalat."
Jadi kalau 🔹زَالَ، بَرِحَ، فَتِئَ، انْفَكَّ🔹
🍁 Tidak beramal seperti amil nawasikh, kecuali kalau di depannya ada nafiy.
Seperti مَا atau لَا
Jadi مَازَالَ، مَاانفَكَّ، مَافَتِئَ، مَابَرِحَ
Kalau tanpa مَا di depannya atau لَا didepannya, maka ini tidak berlaku amil nawasikh, ini syarat.
--------------------------------------------
وَالثَّالِثُ: مَا يَعْمَلُ بِشَرْطِ تَقَدُّمِ (مَا) المَصْدَرِيَّةِ الظَّرْفِيَّةِ:
🔸🔸*Yang ketiga:*
*Apa yang beramal dengan syarat ia didahului مَا mashdariyyah dzarfiyyah*
وَهُوَ (دَامَ) لَا غَيْرُ،
Dan dia itu adalah دَامَ saja, tiada ada yang lain. Artinya cuma دَامَ.
وَهِيَ تُفِيْدُ بَيَانَ المُدَّةِ،
Dan dia itu menjelaskan, memberi faidah
بَيَانَ المُدَّةِ
menjelaskan مُدَّةِ (itu masa waktu).
نَحْوُ قَوْلِ تَعَالَى:﴿وأَوْصَنِي بِالصَّلَوةِ وَالَّزَّكَوةِ مَا دُمْتُ حَيًّا﴾(۳)
"Dan Ia mewasiati aku supaya shalat dan zakat, مَا دُمْتُ حَيًّا selama saya hidup"
*Jadi مَادَامَ »» Memberikan faidah, menjelaskan tenggat waktu.*
Artinya dalam ayat ini,
وأَوْصَنِي بِالصَّلَوةِ وَالَّزَّكَوةِ مَا دُمْتُ حَيًّا
menunjukkan bahwa yang diwasiatkan kepadanya untuk melakukan shalat dan zakat, kapan?
مَا دُمْتُ حَيًّا
“selama saya hidup”
Jadi ini menjelaskan tenggat waktu atau masa waktu.
أَيْ مُدَّةَ دَوَامِي حَيًّا
"Artinya sepanjang aku hidup"
وَ مَعْنَى قَوْلِ الْمُصَنِّفِ رَحِمَهُ اللّٰهُ:
(وَمَا تَصَرَّفَ مِنْهَا ) أَيْ مِنْ كَانَ وَ أَخَوَاتِهَا ، فَإِنَّهُ يَعْمَلُ عَمَلَ الْمَضِي، سَوَاءٌ كَانَ مُضَارِعًا أوْ أَمَرًا أَوْ غَيْرُ ذَالِكَ، تَقُوْلُ :
🔹 كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا،
🔹 وَ يَكُوْنُ زَيْدٌ قَائِمًا،
🔹 وَ كُنْ قَائِمًا.
Adapun maksud dari perkataan Mushannif رَحِمَهُ اللّٰهُ تَعَالى ::
وَمَا تَصَرَّفَ مِنْهَا
Maksudnya, dari kaana dan saudaranya.
Artinya tasrifan dari
كَانَ، أَمْسَى، أَصْبَحَ، أَضْحَى، ظَلَّ، dan seterusnya
Ini juga beramal, sebagai amail nawasikh.
------------
فَإِنَّهُ يَعْمَلُ عَمَلَ الْمَضِي،
Maka sesungguhnya ia itu beramal, seperti amalan fi’il madhinya.
سَوَاءٌ كَانَ مُضَارِعًا أوْ أَمَرًا أَوْ غَيْرُ ذَالِكَ
Sama saja apakah ia adalah fi’il mudhari’ atau amr, atau yang selain itu.
تَقُوْلُ : كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا، وَ يَكُوْنُ زَيْدٌ قَائِمًا، وَ كُنْ قَائِمًا.
Artinya baik fiil mudhari’nya, ataupun fi’il amrnya, itu beramal seperti fi’il madhinya.
○○ Yaitu merofa’kan isim, dan menashabkan khabar.
Ini yang dimaksud dengan
يَعْمَلُ عَمَلَ الْمَضِي
Jadi bukan berarti mudhari’ dan amrpun maknanya madhi, tapi yang dimaksud disini adalah mudhari dan amrnya mengikuti fi’il madhinya.
Yaitu sama-sama merafakan isim dan menashabkan khabar.
وَقَوْلُهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلَامُ :
◎◎ ﴿لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ﴾
Dan sabda Nabi Shallallahu’alayhi Wassalam,
“senantiasa lisanmu basah dari berdzikir kepada Allah 'Azza wa Jalla”
Ini hadits riwayat Ahmad dari Abdullah bin Busyr radhiallahu’anhu.
Ana rasa cukup disini ya, karena sudah lumayan panjang audionya.
Semoga bermanfaat.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
سبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
Dars 34: Khobar
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
📝 Transkrip Materi BINAR Pekan 15
🎧 Pengisi Materi :: Ustadz Abu Razin
📚 Dars 34 : Khobar
⌛ Durasi audio :: 14.44 menit
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله و صحبه ومن والاه, أما بعد.
Alhamdulillah kita melanjutkan pelajaran kita tentang mubtada-khobar yaitu :
أَنْوَاعُ الخَبَرِ :
📚 *Macam-macam Khobar*
Sebelumnya kita telah membahas bahwa mubtada ada yang dzohir dan dhomir. Maka sekarang kita bahas tentang khobar.
قَالَ المُصَنِّفُ رحم الله تعالى
Berkata Al Mushonnif Ibnu Aajurrrum Ash-Shonhajiy رحمه الله تعالى :
وَالخَبَرُ قِسْمَانِ : مُفْرَدٌ وَ غَيْرُ مُفْرَدٍ ،
Khobar itu ada dua macam :
1⃣ Ada khobar mufrod
2⃣ Ada khobar ghairu mufrod
فَالمُفْرَدُ نَحْوُ : زَيْدٌ قَائِمٌ ،
Maka khobar yang mufrod contohnya adalah :
ă. زَيْدٌ قَائِمٌ
وَغَيْرُ المُفْرَدِ أَرْبَعَةَ أَشْيَاءَ :
dan yang bukan mufrod/tidak tunggal ada 4 macam:
1 🕳Jar Majrur الجَرُّ وَالمَجْرُوْرُ
2 🕳 Dzhorof وَالظَّرْفُ
3 🕳 Fiil beserta failnya وَالفِعْلُ مَعَ فَاعِلِهِ
4 🕳 Mubtada beserta khabarnya وَالمُبْتَدَاءُ مَعَ الخَبَرِهِ
نَحْوُ قَوْلِكَ :
☆ زَيْدٌ فِيْ الدَّارِ ،
☆وَ زَيْدٌ عِنْدَكَ ،
☆وَ زَيْدٌ قَامَ أَبُوْهُ ،
☆وَ زَيْدٌ جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ .
Contohnya khobar ghairu mufrod dari jenis yang majrur contohnya :
☆ زَيْدٌ فِيْ الدَّارِ "Zaid ada di dalam rumah"
☆وَ زَيْدٌ عِنْدَكَ "Zaid ada di di sisimu "
☆وَ زَيْدٌ قَامَ أَبُوْهُ
Ini contoh khabarnya fiil-fail.
"Zaid itu berdiri bapaknya"
☆وَ زَيْدٌ جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ
"Dan Zaid itu budaknya pergi"
★ الشَّرْحُ : الخَبَرُ نَوْعَانِ ★
★★ PENJELASAN ★★
Khobar ada dua macam.
مُفْرَدٌ وَ غَيْرُ مُفْرَدٍ.
1⃣ Ada khobar mufrod (khobar tunggal)
2⃣ Ada khobar ghairu mufrod (khobar tidak tunggal)
فَالْخَبَرُ المُفْرَدُ : هُوَ مَا لَيْسَ جُمْلَةً ، وَلَا شِبْهُ الجُمْلَةٍ.
Maka yang dimaksud dengan khobar mufrod adalah :::
*khobar yang bukan jumlah atau bukan pula syibhu jumlah (menyerupai jumlah)*.
نَحْوُ قَوْلِكَ :
☆ زَيْدٌ قَائِمٌ ،
☆ وَ الزَّيْدَانِ قَائِمَانِ ،
☆ وَالزَّيْدُوْنَ قَائِمُوْنَ.
Contohnya perkataanmu :::
☆ زَيْدٌ قَائِمٌ ،
☆ وَ الزَّيْدَانِ قَائِمَانِ ،
☆ وَالزَّيْدُوْنَ قَائِمُوْنَ.
Jangan terkecoh bahwa istilah mufrod disini bukan mufrod lawannya mutsanna dan jamak.
Jadi yang dimaksud khobar mufrod definisinya tadi disebutkan bukan jumlah, bukan pula syibhu jumlah.
Karena contohnya ::: زَيْدٌ قَائِمٌ ، ini mufrod dan mufrod.
☆ وَ الزَّيْدَانِ قَائِمَانِ
Dari sisi adad وَ الزَّيْدَانِ قَائِمَانِ sebenarnya mutsanna ya.
Tapi kita tidak bisa bilang الزَّيْدَانِ قَائِمَانِ ghairu mufrod.
Karena yang menjadi khobar cuma satu kata saja.
Dalam kalimat الزَّيْدَانِ قَائِمَانِ, mana khabarnya? ::: قَائِمَانِ.
Dalam kalimat الزَّيْدُوْنَ قَائِمُوْنَ, mana khabarnya? ::: قَائِمُوْنَ. Satu kata.
Tapi kalau khobar ghairu mufrod yang menjadi khobar itu lebih dari satu.
●● و الخبرُ غَيْرُ المُفْرَادِ نَوْعَانِ : جُمْلَةٌ وَ شِبْهُ جُمْلَةٍ.
Khobar ghairu mufrod ada dua macam :::
1.🔹Jumlah
2.🔹Syibhu jumlah
Kita tahu kalau bicara jumlah berarti ada dua ::
1🔸Ada jumlah fi'liyyah
2🔸Ada jumlah ismiyyah
Adapun syibhu jumlah nanti kita akan bahas dibawah.
●● وَالجُمْلَةُ نَوْعَانِ : إِسْمِيَّةٌ وَ فِعْلِيَّةٌ
Dan jumlah itu ada dua ::
1🔸Ada jumlah ismiyyah
2🔸Ada jumlah fi'liyyah
■ فَالإسْمِيَّةُ : هِيَ الَّتِيْ تَبْدَأُ بِإِسْمٍ ، نَحْوُ : زَيْدٌ جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ (١).
■ Maka khobar ghairu mufrod dari bentuk jumlah ismiyyah
هِيَ الَّتِيْ تَبْدَأُ بِإِسْمٍ
»» yaitu yang diawali oleh isim.
contohnya ::
※ زَيْدٌ جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ
"Zaid itu budaknya pergi"
Kita perhatikan, kalimat :
※ زَيْدٌ جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ
yang menjadi khobar جاريتة saja, ذَاهِبَةٌ saja, atau keseluruhan جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ?
Maka yang benar dalam kalimat زَيْدٌ جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ→ yang menjadi khobar itu adalah keseluruhan kalimat جَارِيَتُهُ ذَاهِبَة.
Itulah kenapa dikatakan khobarnya ghairu mufrod, tidak tunggal, artinya yang jadi khobar tidak hanya satu kata. Tapi satu paket.
※ زَيْدٌ جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ
Kita lihat i'robnya di catatan kaki :
※ زَيْدٌ مُبْتَدَاٌ أَوَّلٌ
"Zaid adalah mubtada yang pertama".
※ جَارِيَتُهُ: جَارِيَةُ: مُبْتَدَأٌ ثَانٍ وَهُوَ مُضَافٌ،
Jadi Zaid mubtada awal, جَارِيَةُ mubtada kedua. Jadi ada dua mubtada disini.
وَهُوَ مُضَافٌ
Karena dia diidhofahkan kepada ـه
※ وَالٌهَاءُ: ضَمِيْرٌ مُتَّصِلٌ فِيْ مَحَلِّ جَرٍّ مُضَافٌ إِلَيْهِ،
Dan ha pada kata جَارِيَتُهُ diidhofahkan kepadanya dhomir muttashil dalam kedudukan jar sebagai mudhof ilaih.
※ وَذَاهِبَةٌ : خَبَرُ ُالْمُبْتَدَإِ الثَّانِي،
Dan َذَاهِبَةٌ menjadi khobar bagi si جَارِيَةُ bagi mubtada yang kedua.
Terus mana khabarnya si Zaid?
Khabarnya si Zaid ::
※ وَالْجُمْلَةُ الاسْمِيَةُ.(جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ ُ)
Ini keseluruhan kalimat جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌُ ::
※ فِي مَحَلِّ رَفْعٍ خَبَرٌ لِلْمُبْتَدَإِ اَلأَوَّلُ (زَيْدٌ)
Keseluruhan kalimat جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ menjadi khobar bagi si Zaid.
Jadi dalam kalimat ※ زَيْدٌ جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ ※ ada dua mubtada dan ada dua khobar.
Dimana Zaidun mubtada awal, جَارِيَةُ mubtada tsani, ذَاهِبَةٌ khobar bagi جَارِيَةُ, dan khabarnya si Zaid ini keseluruhan kalimat :::
※جَارِيَتُهُ ذَاهِبَة
■ وَالفِعْلِيَّةُ : هِيَ الَّتِيْ تَبْدَأُ بِفِعْلٍ ،
■ Jumlah kedua :: jumlah fi'liyyah
Adalah jumlah atau kalimat yang diawali oleh fiil.
نَحْوُ : زَيْدٌ قَامَ أَبُوْهُ (٢).
"Zaid itu telah berdiri bapaknya "
Maka kita lihat i'robnya Zaid itu sebagai mubtada
※ زَيْدٌ : مُبْثَدَأٌ ،
※ وَقَامَ: فِعْلٌ مَاضٍ،
※ وَأَبُوْهُ : فَاعِلٌ،
Jadi Zaid mubtada, qooma fiil madhi, abuuhu failnya qooma.
Terus mana khabarnya Zaid?
Khabarnya Zaid :: keseluruhan kalimat قَامَ أَبُوْهُ
Makanya disebut enggak mufrod karena yang jadi khobar bukan hanya satu kata, bukan cuma qooma saja, bukan abuuhu saja, tapi قَامَ أَبُوْه menjadi khabarnya si Zaid.
※ وَالْجُمْلَة ُالْفِعْلِيَةُ (قاَمَا أَبُوْهُ) فِيْ مَحَلِّ رَفْعٍ خَبَرُ لِلْمُبْتَدَأُ (زَيْدٌ)
Insya Allah mudah, karena sudah dibahas di Program Bina.
○● وَ شِبْهُ الجُمْلَةِ نَوْعَانِ ●○
Baru saja itu khobar jumlah, yaitu jumlah ismiyyah dan jumlah fi'liyyah.
Sekarang kita bahas yang syibhul jumlah (menyerupai jumlah).
●● وَ شِبْهُ الجُمْلَةِ نَوْعَانِ : الجَارُّ وَالمَجْرُوْرُ وَ الظَّرْف
Dan yang menyerupai jumlah ada dua macam ::
1. 📎 jar majrur dan
2. 📎 dzorof
●○ فَاالجاَرُّ وَالمَجْرُوْرُ : نَحْوُ : زَيْدٌ فِي الدَّرِ (٣)
Maka contoh khobar syibhu jumlah yang pertama jar majrur, contohnya ::
※ زَيْدٌ فِي الدَّرِ
"Zaid ada di dalam rumah"
I'robnya ::
※ زَيْدٌ: مُبْتَدَأٌ،
※ وَفِيْ الدَّرِ : جَارٌّ وَمَجْرُوْرٌ،
※ وَشِبْه ُالجُمْلَةِ (فِي الدَّرِ) فِي مَحَلِّ رَفْعٍ خَبَرٌ لِلْمُبْتَدَإِ (زَيْدٌ)
Jadi زَيْدٌ فِي الدَّرِ yang menjadi khobar si Zaid bukan hanya في -nya saja, bukan الدَّرِ-nya saja, tapi فِي الدَّرِ jadi khabarnya si Zaid.
Makanya kalau kita i'rob boleh kita katakan ::
※ وَشِبْهُالجُمْلَةِ فِي مَحَلِّ رَفْعٍ خَبَرٌ لِلْمُبْتَدَإِ
Atau,
※ الجر والمجرور
Seperti itu keduanya boleh.
●○ وَالظَّرْفُ : نَحْوُ : زَيْدٌ عِنْدَكَ
Dan syibhu jumlah berupa dzorof contohnya :
☆ زَيْدٌ عِنْدَكَ ☆
"Zaid ada di sisimu"
Maka Zaid sebagai mubtada عِنْدَكَ →'inda عِند-nya dzorof makaan. Kemudian kaf-nya mudhof ilaih.
Kemudian mana khabarnya Zaid? Keseluruhannya عِنْدَكَ.
Thayyib ini macam-macam khobar.
Jadi khobar itu ::
√ ada yang mufrod ,
√ ada yang ghairu mufrod.
Dimana definisi mufrod disini bukan dari sisi adad (bukan mufrod, mutsanna, jamak) tapi maksudnya ada yang mubtadanya itu satu kata (baik katanya itu mufrod,mutsanna, jamak) ada juga khabarnya itu tidak satu kata tapi lebih dari satu kata.
Seperti ::
※ زَيْدٌ فِي الدَّرِ
Mana khabarnya ? Fii dan الدَّرِ semuanya.
※ َ زَيْدٌ قَامَ أَبُوْهُ
Mana khobarnya? قَامَ أَبُوْهُ semuanya, maka disebut dengan ghairu mufrod.
Khobar ghairu mufrod dibagi lagi menjadi dua ::
1.🔹Ada Khobar Jumlah
○○ yaitu → Jumlah fi'liyyah dan ismiyyah
2.🔹Ada Khobar Syibhu jumlah (Menyerupai Jumlah)
○○ yaitu → khobar jar majrur dan dzorof
فَا الحَاصِلُ : أَنَّ الخَبَرَ عَلَى التَّفْصِيْلِ خَمْسَةٌ أَنْوَاعٍ:
Kesimpulannya : khobar itu kalau mau didetailkan/dijabarkan ada 5 macam ::
1☆ مُفْرَدٌ، (ada khobar mufrod)
2☆ وَجُمْلَةٌ اسْمِيَةٌ، (ada khobar jumlah ismiyyah)
3☆ وَجُمْلَةٌ فِعْلِيَةٌ، (ada khobar jumlah fi'liyyah )
4☆ وَجَارٌّ وَمَجْرُوْرٌ،(khobar ja majrur )
5☆ وَظَرْفٌ(khobar dzorof)
●● Tanbih تنبه ●●
إِعْلَمْ أنهُ قَدِ اخْتلَفَ العُلماءُ في الخَبَرِ ، أهْوَ الظَرْفُ الجَارُ و المجرورُ ، أَمْ هو مَخذوفٌ و ظرفٌ و الجارُ و المجرُورُ مُتَعَلِّقَانِ بهِ ،
فَإِذَا قُلْتَ :
☆ زَيْدٌ فِيْ الدَّارِ ،
☆وَ زَيْدٌ عِنْدَكَ ،
فَالتَّقْديرُ = زَيْدٌ (كَائِنٌ) فِيْ الدَّارِ وَ زَيْدٌ ٌ (كَائِنٌ) عِنْدَكَ.
Ketahuilah !
قَدِ اخْتلَفَ العُلماءُ في الخَبَرِ
Bahwasanya telah berselisih pendapat para ulama Nahwu dalam masalah khobar.
أهْوَ الظَرْفُ الجَارُ و المجرورُ
Apakah khobarnya langsung dzorof dan jar majrurnya?
أَمْ هو مَخذوفٌ و ظرفٌ و الجارُ و المجرُورُ مُتَعَلِّقَانِ بهِ ،
Atau ada sesuatu yang dibuang. Sedangkan dzorof dan jar majrurnya itu berkaitan dengan keduanya.
فَإِذَا قُلْتَ : ☆ زَيْدٌ فِيْ الدَّارِ ، ☆وَ زَيْدٌ عِنْدَكَ ،
Maka jika kamu mengatakan :
☆ زَيْدٌ فِيْ الدَّارِ ،
☆ وَ زَيْدٌ عِنْدَكَ ،
فَالتَّقْديرُ ::
Maka taqdirnya adalah ::
●●»» زَيْدٌ (كَائِنٌ) فِيْ الدَّارِ
"Zaid itu ada di rumah"
Khobarnya bukan hanya فِيْ الدَّارِ tapi ada كَائِنٌnya.
Begitupun :
☆ زَيْدٌ عِنْدَكَ ،
Maknanya :
☆َ زَيْدٌ ٌ (كَائِنٌ) عِنْدَكَ.
"Zaid ada di sisimu"
Bahkan kalau kita menterjemahkannya saja taqdir seperti ini lebih diterima.
Kalau kita mengatakan :
"Zaid di rumah" maksudnya apa? →"Zaid ada di rumah"
زَيْدٌ عِنْدَكَ "Zaid di sisimu"
"Zaid ada di sisimu"
Jadi khusus untuk khobar syibhu jumlah yaitu jar majrur dan dzorof ada perbedaan pendapat.
○○Ada yang mengatakan bahwa yang menjadi khobar adalah jar majrurnya saja, tanpa ada yang dibuang tidak ada taqdir-taqdiran.
*Tapi yang kuat insya Allah adalah yang mengatakan bahwasanya ada yang dibuang disitu*.
☆ زَيْدٌ فِيْ الدَّارِ ← ☆ زَيْدٌ كَائِنٌ فِيْ الدَّارِ
☆ زَيْدٌ عِنْدَكَ ← ☆َ زَيْدٌ (كَائِنٌ) عِنْدَكَ.
Makanya kalau kita irob زَيْدٌ فِيْ الدَّارِ dengan i'rob yang lengkap, setelah kita selesai menyatakan jar majrur, bisa kita katakan::
※ الجَارُ و المَجْرورُ مُتَعَلِّقَانِ بِمَخذوفٍ تَقْدِيرُهُ كَائِنٌ فِيْ مَحَلِّ رَفْعٍ خَبَرُ المُبْتَدَإِ.
Jar majrur berkaitan dengan sesuatu yang dibuang taqdirnya/ asalnya كَائِنٌ ada makna "ADA" sisipan disitu.
فِيْ مَحَلِّ رَفْعٍ خَبَرُ المُبْتَدَإِ.
Di dalam kedudukan rofa' sebagai khobar mubtada.
●● وقَدْ ذَهَبَ المُصَنِّفُ إلي الرَّأْيِ الأَوَّلُ ،
Dan penulis kitab Aajurrum ini telah memilih pendapat yang pertama, yang menyatakan bahwa :
☆ زَيْدٌ فِيْ الدَّارِ
Yang menjadi khobar itu فِيْ الدَّارِ nya. Tanpa ada sesuatu yang ditaqdirkan disitu
●● لَكِنَّ الرَّأْيَ الثَّانِيَ
Akan tetapi pendapat yang kedua yaitu yang mengatakan bahwasanya dalam kalimat زَيْدٌ فِيْ الدَّارِ dan زَيْدٌ عِنْدَكَ ada taqdir yang dibuang.
هُوَ الذي عَليه الجُمْهُوْرُ ،
Itulah yang dipegang oleh jumhur ulama nahwu.
وَهُوَ الصَّحيحُ ، واللهُ أَعْلَم، يَنْظُرُ ابنُ عقِيلِ (٢١١/١)
Itulah yang benar. Dan Allah Maha Mengetahui.
_Silakan lihat syarah Alfiyah Ibnu Aqil Jilid 1,halaman 211._
Memang dalam masalah ini saya sendiri memilih pendapat yang mengatakan ada taqdir yang dibuang.
Asalnya ::
●»» زَيْدٌ (كَائِنٌ) فِيْ الدَّارِ
●»» زَيْدٌ (كَائِنٌ) عِنْدَكَ
Boleh pakai كَائِنٌ , boleh pakai اِسْتَقَرَّ .
●»» زَيْدٌ (كَائِنٌ) فِيْ الدَّارِ
Atau ,
●»» زَيْدٌ (اِسْتَقَرَّ) فِيْ الدَّارِ
Keduanya bermakna "ADA".
Sekarang kita lihat bagan Halaman 98, jadi ini kesimpulannya bahwa khobar itu ada dua ::
1⃣ Ada khobar mufrod
2⃣ Ada khobar ghairu mufrod
Kemudian khobar ghairu mufrod ada dua ::
1.🔹Ada Jumlah
2.🔹Ada Syibhu jumlah
Khobar jumlah ada dua ::
1🔸 Ada jumlah fi'liyyah
2🔸Ada jumlah ismiyyah
Khobar syibhu jumlah ada dua ::
1🔹 Ada jar majrur
2🔹 dan dzorof
Thayyib untuk sisanya bisa dibaca sendiri, begitupun dengan i'robnya insya Allah ini mudah. Kita cukup kan sampai disini semoga bermanfaat.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
سبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
📝 Transkrip Materi BINAR Pekan 15
🎧 Pengisi Materi :: Ustadz Abu Razin
📚 Dars 34 : Khobar
⌛ Durasi audio :: 14.44 menit
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله و صحبه ومن والاه, أما بعد.
Alhamdulillah kita melanjutkan pelajaran kita tentang mubtada-khobar yaitu :
أَنْوَاعُ الخَبَرِ :
📚 *Macam-macam Khobar*
Sebelumnya kita telah membahas bahwa mubtada ada yang dzohir dan dhomir. Maka sekarang kita bahas tentang khobar.
قَالَ المُصَنِّفُ رحم الله تعالى
Berkata Al Mushonnif Ibnu Aajurrrum Ash-Shonhajiy رحمه الله تعالى :
وَالخَبَرُ قِسْمَانِ : مُفْرَدٌ وَ غَيْرُ مُفْرَدٍ ،
Khobar itu ada dua macam :
1⃣ Ada khobar mufrod
2⃣ Ada khobar ghairu mufrod
فَالمُفْرَدُ نَحْوُ : زَيْدٌ قَائِمٌ ،
Maka khobar yang mufrod contohnya adalah :
ă. زَيْدٌ قَائِمٌ
وَغَيْرُ المُفْرَدِ أَرْبَعَةَ أَشْيَاءَ :
dan yang bukan mufrod/tidak tunggal ada 4 macam:
1 🕳Jar Majrur الجَرُّ وَالمَجْرُوْرُ
2 🕳 Dzhorof وَالظَّرْفُ
3 🕳 Fiil beserta failnya وَالفِعْلُ مَعَ فَاعِلِهِ
4 🕳 Mubtada beserta khabarnya وَالمُبْتَدَاءُ مَعَ الخَبَرِهِ
نَحْوُ قَوْلِكَ :
☆ زَيْدٌ فِيْ الدَّارِ ،
☆وَ زَيْدٌ عِنْدَكَ ،
☆وَ زَيْدٌ قَامَ أَبُوْهُ ،
☆وَ زَيْدٌ جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ .
Contohnya khobar ghairu mufrod dari jenis yang majrur contohnya :
☆ زَيْدٌ فِيْ الدَّارِ "Zaid ada di dalam rumah"
☆وَ زَيْدٌ عِنْدَكَ "Zaid ada di di sisimu "
☆وَ زَيْدٌ قَامَ أَبُوْهُ
Ini contoh khabarnya fiil-fail.
"Zaid itu berdiri bapaknya"
☆وَ زَيْدٌ جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ
"Dan Zaid itu budaknya pergi"
★ الشَّرْحُ : الخَبَرُ نَوْعَانِ ★
★★ PENJELASAN ★★
Khobar ada dua macam.
مُفْرَدٌ وَ غَيْرُ مُفْرَدٍ.
1⃣ Ada khobar mufrod (khobar tunggal)
2⃣ Ada khobar ghairu mufrod (khobar tidak tunggal)
فَالْخَبَرُ المُفْرَدُ : هُوَ مَا لَيْسَ جُمْلَةً ، وَلَا شِبْهُ الجُمْلَةٍ.
Maka yang dimaksud dengan khobar mufrod adalah :::
*khobar yang bukan jumlah atau bukan pula syibhu jumlah (menyerupai jumlah)*.
نَحْوُ قَوْلِكَ :
☆ زَيْدٌ قَائِمٌ ،
☆ وَ الزَّيْدَانِ قَائِمَانِ ،
☆ وَالزَّيْدُوْنَ قَائِمُوْنَ.
Contohnya perkataanmu :::
☆ زَيْدٌ قَائِمٌ ،
☆ وَ الزَّيْدَانِ قَائِمَانِ ،
☆ وَالزَّيْدُوْنَ قَائِمُوْنَ.
Jangan terkecoh bahwa istilah mufrod disini bukan mufrod lawannya mutsanna dan jamak.
Jadi yang dimaksud khobar mufrod definisinya tadi disebutkan bukan jumlah, bukan pula syibhu jumlah.
Karena contohnya ::: زَيْدٌ قَائِمٌ ، ini mufrod dan mufrod.
☆ وَ الزَّيْدَانِ قَائِمَانِ
Dari sisi adad وَ الزَّيْدَانِ قَائِمَانِ sebenarnya mutsanna ya.
Tapi kita tidak bisa bilang الزَّيْدَانِ قَائِمَانِ ghairu mufrod.
Karena yang menjadi khobar cuma satu kata saja.
Dalam kalimat الزَّيْدَانِ قَائِمَانِ, mana khabarnya? ::: قَائِمَانِ.
Dalam kalimat الزَّيْدُوْنَ قَائِمُوْنَ, mana khabarnya? ::: قَائِمُوْنَ. Satu kata.
Tapi kalau khobar ghairu mufrod yang menjadi khobar itu lebih dari satu.
●● و الخبرُ غَيْرُ المُفْرَادِ نَوْعَانِ : جُمْلَةٌ وَ شِبْهُ جُمْلَةٍ.
Khobar ghairu mufrod ada dua macam :::
1.🔹Jumlah
2.🔹Syibhu jumlah
Kita tahu kalau bicara jumlah berarti ada dua ::
1🔸Ada jumlah fi'liyyah
2🔸Ada jumlah ismiyyah
Adapun syibhu jumlah nanti kita akan bahas dibawah.
●● وَالجُمْلَةُ نَوْعَانِ : إِسْمِيَّةٌ وَ فِعْلِيَّةٌ
Dan jumlah itu ada dua ::
1🔸Ada jumlah ismiyyah
2🔸Ada jumlah fi'liyyah
■ فَالإسْمِيَّةُ : هِيَ الَّتِيْ تَبْدَأُ بِإِسْمٍ ، نَحْوُ : زَيْدٌ جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ (١).
■ Maka khobar ghairu mufrod dari bentuk jumlah ismiyyah
هِيَ الَّتِيْ تَبْدَأُ بِإِسْمٍ
»» yaitu yang diawali oleh isim.
contohnya ::
※ زَيْدٌ جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ
"Zaid itu budaknya pergi"
Kita perhatikan, kalimat :
※ زَيْدٌ جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ
yang menjadi khobar جاريتة saja, ذَاهِبَةٌ saja, atau keseluruhan جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ?
Maka yang benar dalam kalimat زَيْدٌ جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ→ yang menjadi khobar itu adalah keseluruhan kalimat جَارِيَتُهُ ذَاهِبَة.
Itulah kenapa dikatakan khobarnya ghairu mufrod, tidak tunggal, artinya yang jadi khobar tidak hanya satu kata. Tapi satu paket.
※ زَيْدٌ جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ
Kita lihat i'robnya di catatan kaki :
※ زَيْدٌ مُبْتَدَاٌ أَوَّلٌ
"Zaid adalah mubtada yang pertama".
※ جَارِيَتُهُ: جَارِيَةُ: مُبْتَدَأٌ ثَانٍ وَهُوَ مُضَافٌ،
Jadi Zaid mubtada awal, جَارِيَةُ mubtada kedua. Jadi ada dua mubtada disini.
وَهُوَ مُضَافٌ
Karena dia diidhofahkan kepada ـه
※ وَالٌهَاءُ: ضَمِيْرٌ مُتَّصِلٌ فِيْ مَحَلِّ جَرٍّ مُضَافٌ إِلَيْهِ،
Dan ha pada kata جَارِيَتُهُ diidhofahkan kepadanya dhomir muttashil dalam kedudukan jar sebagai mudhof ilaih.
※ وَذَاهِبَةٌ : خَبَرُ ُالْمُبْتَدَإِ الثَّانِي،
Dan َذَاهِبَةٌ menjadi khobar bagi si جَارِيَةُ bagi mubtada yang kedua.
Terus mana khabarnya si Zaid?
Khabarnya si Zaid ::
※ وَالْجُمْلَةُ الاسْمِيَةُ.(جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ ُ)
Ini keseluruhan kalimat جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌُ ::
※ فِي مَحَلِّ رَفْعٍ خَبَرٌ لِلْمُبْتَدَإِ اَلأَوَّلُ (زَيْدٌ)
Keseluruhan kalimat جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ menjadi khobar bagi si Zaid.
Jadi dalam kalimat ※ زَيْدٌ جَارِيَتُهُ ذَاهِبَةٌ ※ ada dua mubtada dan ada dua khobar.
Dimana Zaidun mubtada awal, جَارِيَةُ mubtada tsani, ذَاهِبَةٌ khobar bagi جَارِيَةُ, dan khabarnya si Zaid ini keseluruhan kalimat :::
※جَارِيَتُهُ ذَاهِبَة
■ وَالفِعْلِيَّةُ : هِيَ الَّتِيْ تَبْدَأُ بِفِعْلٍ ،
■ Jumlah kedua :: jumlah fi'liyyah
Adalah jumlah atau kalimat yang diawali oleh fiil.
نَحْوُ : زَيْدٌ قَامَ أَبُوْهُ (٢).
"Zaid itu telah berdiri bapaknya "
Maka kita lihat i'robnya Zaid itu sebagai mubtada
※ زَيْدٌ : مُبْثَدَأٌ ،
※ وَقَامَ: فِعْلٌ مَاضٍ،
※ وَأَبُوْهُ : فَاعِلٌ،
Jadi Zaid mubtada, qooma fiil madhi, abuuhu failnya qooma.
Terus mana khabarnya Zaid?
Khabarnya Zaid :: keseluruhan kalimat قَامَ أَبُوْهُ
Makanya disebut enggak mufrod karena yang jadi khobar bukan hanya satu kata, bukan cuma qooma saja, bukan abuuhu saja, tapi قَامَ أَبُوْه menjadi khabarnya si Zaid.
※ وَالْجُمْلَة ُالْفِعْلِيَةُ (قاَمَا أَبُوْهُ) فِيْ مَحَلِّ رَفْعٍ خَبَرُ لِلْمُبْتَدَأُ (زَيْدٌ)
Insya Allah mudah, karena sudah dibahas di Program Bina.
○● وَ شِبْهُ الجُمْلَةِ نَوْعَانِ ●○
Baru saja itu khobar jumlah, yaitu jumlah ismiyyah dan jumlah fi'liyyah.
Sekarang kita bahas yang syibhul jumlah (menyerupai jumlah).
●● وَ شِبْهُ الجُمْلَةِ نَوْعَانِ : الجَارُّ وَالمَجْرُوْرُ وَ الظَّرْف
Dan yang menyerupai jumlah ada dua macam ::
1. 📎 jar majrur dan
2. 📎 dzorof
●○ فَاالجاَرُّ وَالمَجْرُوْرُ : نَحْوُ : زَيْدٌ فِي الدَّرِ (٣)
Maka contoh khobar syibhu jumlah yang pertama jar majrur, contohnya ::
※ زَيْدٌ فِي الدَّرِ
"Zaid ada di dalam rumah"
I'robnya ::
※ زَيْدٌ: مُبْتَدَأٌ،
※ وَفِيْ الدَّرِ : جَارٌّ وَمَجْرُوْرٌ،
※ وَشِبْه ُالجُمْلَةِ (فِي الدَّرِ) فِي مَحَلِّ رَفْعٍ خَبَرٌ لِلْمُبْتَدَإِ (زَيْدٌ)
Jadi زَيْدٌ فِي الدَّرِ yang menjadi khobar si Zaid bukan hanya في -nya saja, bukan الدَّرِ-nya saja, tapi فِي الدَّرِ jadi khabarnya si Zaid.
Makanya kalau kita i'rob boleh kita katakan ::
※ وَشِبْهُالجُمْلَةِ فِي مَحَلِّ رَفْعٍ خَبَرٌ لِلْمُبْتَدَإِ
Atau,
※ الجر والمجرور
Seperti itu keduanya boleh.
●○ وَالظَّرْفُ : نَحْوُ : زَيْدٌ عِنْدَكَ
Dan syibhu jumlah berupa dzorof contohnya :
☆ زَيْدٌ عِنْدَكَ ☆
"Zaid ada di sisimu"
Maka Zaid sebagai mubtada عِنْدَكَ →'inda عِند-nya dzorof makaan. Kemudian kaf-nya mudhof ilaih.
Kemudian mana khabarnya Zaid? Keseluruhannya عِنْدَكَ.
Thayyib ini macam-macam khobar.
Jadi khobar itu ::
√ ada yang mufrod ,
√ ada yang ghairu mufrod.
Dimana definisi mufrod disini bukan dari sisi adad (bukan mufrod, mutsanna, jamak) tapi maksudnya ada yang mubtadanya itu satu kata (baik katanya itu mufrod,mutsanna, jamak) ada juga khabarnya itu tidak satu kata tapi lebih dari satu kata.
Seperti ::
※ زَيْدٌ فِي الدَّرِ
Mana khabarnya ? Fii dan الدَّرِ semuanya.
※ َ زَيْدٌ قَامَ أَبُوْهُ
Mana khobarnya? قَامَ أَبُوْهُ semuanya, maka disebut dengan ghairu mufrod.
Khobar ghairu mufrod dibagi lagi menjadi dua ::
1.🔹Ada Khobar Jumlah
○○ yaitu → Jumlah fi'liyyah dan ismiyyah
2.🔹Ada Khobar Syibhu jumlah (Menyerupai Jumlah)
○○ yaitu → khobar jar majrur dan dzorof
فَا الحَاصِلُ : أَنَّ الخَبَرَ عَلَى التَّفْصِيْلِ خَمْسَةٌ أَنْوَاعٍ:
Kesimpulannya : khobar itu kalau mau didetailkan/dijabarkan ada 5 macam ::
1☆ مُفْرَدٌ، (ada khobar mufrod)
2☆ وَجُمْلَةٌ اسْمِيَةٌ، (ada khobar jumlah ismiyyah)
3☆ وَجُمْلَةٌ فِعْلِيَةٌ، (ada khobar jumlah fi'liyyah )
4☆ وَجَارٌّ وَمَجْرُوْرٌ،(khobar ja majrur )
5☆ وَظَرْفٌ(khobar dzorof)
●● Tanbih تنبه ●●
إِعْلَمْ أنهُ قَدِ اخْتلَفَ العُلماءُ في الخَبَرِ ، أهْوَ الظَرْفُ الجَارُ و المجرورُ ، أَمْ هو مَخذوفٌ و ظرفٌ و الجارُ و المجرُورُ مُتَعَلِّقَانِ بهِ ،
فَإِذَا قُلْتَ :
☆ زَيْدٌ فِيْ الدَّارِ ،
☆وَ زَيْدٌ عِنْدَكَ ،
فَالتَّقْديرُ = زَيْدٌ (كَائِنٌ) فِيْ الدَّارِ وَ زَيْدٌ ٌ (كَائِنٌ) عِنْدَكَ.
Ketahuilah !
قَدِ اخْتلَفَ العُلماءُ في الخَبَرِ
Bahwasanya telah berselisih pendapat para ulama Nahwu dalam masalah khobar.
أهْوَ الظَرْفُ الجَارُ و المجرورُ
Apakah khobarnya langsung dzorof dan jar majrurnya?
أَمْ هو مَخذوفٌ و ظرفٌ و الجارُ و المجرُورُ مُتَعَلِّقَانِ بهِ ،
Atau ada sesuatu yang dibuang. Sedangkan dzorof dan jar majrurnya itu berkaitan dengan keduanya.
فَإِذَا قُلْتَ : ☆ زَيْدٌ فِيْ الدَّارِ ، ☆وَ زَيْدٌ عِنْدَكَ ،
Maka jika kamu mengatakan :
☆ زَيْدٌ فِيْ الدَّارِ ،
☆ وَ زَيْدٌ عِنْدَكَ ،
فَالتَّقْديرُ ::
Maka taqdirnya adalah ::
●●»» زَيْدٌ (كَائِنٌ) فِيْ الدَّارِ
"Zaid itu ada di rumah"
Khobarnya bukan hanya فِيْ الدَّارِ tapi ada كَائِنٌnya.
Begitupun :
☆ زَيْدٌ عِنْدَكَ ،
Maknanya :
☆َ زَيْدٌ ٌ (كَائِنٌ) عِنْدَكَ.
"Zaid ada di sisimu"
Bahkan kalau kita menterjemahkannya saja taqdir seperti ini lebih diterima.
Kalau kita mengatakan :
"Zaid di rumah" maksudnya apa? →"Zaid ada di rumah"
زَيْدٌ عِنْدَكَ "Zaid di sisimu"
"Zaid ada di sisimu"
Jadi khusus untuk khobar syibhu jumlah yaitu jar majrur dan dzorof ada perbedaan pendapat.
○○Ada yang mengatakan bahwa yang menjadi khobar adalah jar majrurnya saja, tanpa ada yang dibuang tidak ada taqdir-taqdiran.
*Tapi yang kuat insya Allah adalah yang mengatakan bahwasanya ada yang dibuang disitu*.
☆ زَيْدٌ فِيْ الدَّارِ ← ☆ زَيْدٌ كَائِنٌ فِيْ الدَّارِ
☆ زَيْدٌ عِنْدَكَ ← ☆َ زَيْدٌ (كَائِنٌ) عِنْدَكَ.
Makanya kalau kita irob زَيْدٌ فِيْ الدَّارِ dengan i'rob yang lengkap, setelah kita selesai menyatakan jar majrur, bisa kita katakan::
※ الجَارُ و المَجْرورُ مُتَعَلِّقَانِ بِمَخذوفٍ تَقْدِيرُهُ كَائِنٌ فِيْ مَحَلِّ رَفْعٍ خَبَرُ المُبْتَدَإِ.
Jar majrur berkaitan dengan sesuatu yang dibuang taqdirnya/ asalnya كَائِنٌ ada makna "ADA" sisipan disitu.
فِيْ مَحَلِّ رَفْعٍ خَبَرُ المُبْتَدَإِ.
Di dalam kedudukan rofa' sebagai khobar mubtada.
●● وقَدْ ذَهَبَ المُصَنِّفُ إلي الرَّأْيِ الأَوَّلُ ،
Dan penulis kitab Aajurrum ini telah memilih pendapat yang pertama, yang menyatakan bahwa :
☆ زَيْدٌ فِيْ الدَّارِ
Yang menjadi khobar itu فِيْ الدَّارِ nya. Tanpa ada sesuatu yang ditaqdirkan disitu
●● لَكِنَّ الرَّأْيَ الثَّانِيَ
Akan tetapi pendapat yang kedua yaitu yang mengatakan bahwasanya dalam kalimat زَيْدٌ فِيْ الدَّارِ dan زَيْدٌ عِنْدَكَ ada taqdir yang dibuang.
هُوَ الذي عَليه الجُمْهُوْرُ ،
Itulah yang dipegang oleh jumhur ulama nahwu.
وَهُوَ الصَّحيحُ ، واللهُ أَعْلَم، يَنْظُرُ ابنُ عقِيلِ (٢١١/١)
Itulah yang benar. Dan Allah Maha Mengetahui.
_Silakan lihat syarah Alfiyah Ibnu Aqil Jilid 1,halaman 211._
Memang dalam masalah ini saya sendiri memilih pendapat yang mengatakan ada taqdir yang dibuang.
Asalnya ::
●»» زَيْدٌ (كَائِنٌ) فِيْ الدَّارِ
●»» زَيْدٌ (كَائِنٌ) عِنْدَكَ
Boleh pakai كَائِنٌ , boleh pakai اِسْتَقَرَّ .
●»» زَيْدٌ (كَائِنٌ) فِيْ الدَّارِ
Atau ,
●»» زَيْدٌ (اِسْتَقَرَّ) فِيْ الدَّارِ
Keduanya bermakna "ADA".
Sekarang kita lihat bagan Halaman 98, jadi ini kesimpulannya bahwa khobar itu ada dua ::
1⃣ Ada khobar mufrod
2⃣ Ada khobar ghairu mufrod
Kemudian khobar ghairu mufrod ada dua ::
1.🔹Ada Jumlah
2.🔹Ada Syibhu jumlah
Khobar jumlah ada dua ::
1🔸 Ada jumlah fi'liyyah
2🔸Ada jumlah ismiyyah
Khobar syibhu jumlah ada dua ::
1🔹 Ada jar majrur
2🔹 dan dzorof
Thayyib untuk sisanya bisa dibaca sendiri, begitupun dengan i'robnya insya Allah ini mudah. Kita cukup kan sampai disini semoga bermanfaat.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
سبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
Dars 33: Mubtada
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
📝 Transkrip Materi BINAR Pekan 15
🎧 Pengisi Materi :: Ustadz Abu Razin
📚 Dars 33 :: Bab Mubtada dan Khabar : Mubtada
⌛ Durasi audio :: 21.55 menit
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله و صحبه ومن والاه, أما بعد.
Alhamdulillah kita melanjutkan pembahasan dari Kitab Al Mumti’ Fii Syahril Ajurrumiyyah, dan Alhamdulillah kita sudah sampai ke pembahasan tentang بَابُ الْمُبْتَدَإِ وَالْخَبَرِ , bab tentang mubtada dan khabar
قَالَ الْمُصَنِّفُ رحمه الله تعالى
Berkata pengarang kitab Al-Ajurumiyyah, yaitu Ibnu Ajurum Ashshonhaji, رحمه الله تعالى.
بَابُ الْمُبْتَدَإِ وَالْخَبَرِ:
*Bab tentang mubtada dan khabar*
🍥 الْمُبْتَدَأُ: هُوَ الْإِسْمُ الْمَرْفُوْعُ الْعَارِيْ عَنِ الْعَوَامِلِ اللَّفْظِيَّةِ،
🍥 Mubtada adalah isim yang dirofa’kan, yang terbebas dari amil-amil lafadz, dari faktor-faktor yang bersifat lafadz.
🍥 وَالْخَبَرُ: هُوَالْإِسْمُ الْمَرْفُوْعُ الْمُسْنَدُ اِلَيْهِ،
🍥 Sedangkan khabar, adalah isim yang dirofa’kan, yang disandarkan kepada mubtada.
Ini definisi sederhana dari khabar.
نَحْوُ قَوْلِكَ:
Contohnya perkataanmu:
زَيْدٌ قَائِمٌ،
●● Zaid berdiri
وَالزَّيدَانِ قَائِمَانِ،
●● 2 orang Zaid berdiri
وَالزَّيْدُوْنَ قَائِمُوْنَ.
●● Dan banyak Zaid berdiri
🍃الشَّرْحُ:
■ *Penjelasan:*
بَعْدَ أَنْ فَرَغَ المُصَنِّفُ مِنْ ذِكْرِ الْفَاعِلِ وَنَائِبِ الْفَاعِلِ، شَرَعَ فِيْ ذِكْرِ الْمُبْتَدَإِ وَالْخَبَرِ، وَجَمَعَهُمَا فِيْ بَابِ وَاحِدٍ؛
Setelah Mushannif selesai menyebutkan tentang fail dan naibul fail, Mushannif, yakni Ashshonhaji, mulai menyebutkan tentang mubtada dan khabar, dan mengumpulkan pembahasan keduanya di bab yang sama.
Karena ini masih dalam satu kesatuan tentang marfu'atil asma’, kedudukan kata dalam kalimat yang wajib marfu’.
Sudah kita bahas kemarin yang pertama fail,
kemudian setelah itu naibul fail,
sekarang kita bahas yang ketiga dan keempat,
yaitu mubtada dan khabar.
Dan keduanya disatukan dalam satu bab. Kenapa?
لِأَنَّ الْخَبَرَ لَازِمٌ لِلْمُبْتَدَإِ غَالِبًا،
Karena khabar itu senantiasa membersamai mubtada.
Jadi ibarat kata tidak mungkin ada mubtada, kalau tidak ada khabar, dan sebaliknya.
وَيُشَكِّلُ مَعَهُ جُمْلَةً اِسْمِيَّةً،
Dan khabar bersama mubtada ini membentuk sebuah kalimat yang disebut dengan jumlah ismiyyah.
يُسَمَّى الرُّكْنُ الْأَوَّلُ مِنْهَا: مُبْتَدَأً؛ لِأَنَّ الْجُمْلَتَ تَبْتَدِئُ بِهِ.
Dinamakan rukun jumlah ismiyyah yang pertama adalah mubtada, karena kalimat dimulai dengan mubtada.
وَيُسَمَّى الرُّكْنُ الثَّانِيْ مِنْهَا:خَبَرًا؛
Dan dinamakan rukun yang kedua dari jumlah ismiyyah adalah khabar.
Kenapa disebut sebagai khabar?
لِأَنَّهُ يُخْبَرُ بِهِ عَنِ الْمُبْتَدَإِ.
Karena khabar itu mengabarkan tentang si mubtada.
Jadi jumlah ismiyyah memiliki dua rukun::
1⭐ Rukun yang pertama disebut sebagai mubtada,
2⭐ Rukun yang kedua disebut sebagai khabar.
⭐ Kenapa dinamakan mubtada?
»» Ya, sesuai dengan namanya, mubtada itu artinya yang didepan/yang diawal.
⭐ Sedangkan khabar, sesuai dengan namanya, khabar itu artinya kabar, penjelasan, dimana khabar itu menjelaskan keadaan atau kondisi si mubtada
وَالْمُبْتَدَأُ تَعْرِيْفُهُ: هُوَ الْإِسْمُ الْمَرْفُوْعُ الْعَارِيْ عَنِ الْعَوَامِلِ اللَّفْظِيَّةِ
Dan mubtada itu definisinya adalah ::
»»● isim yang dirofa’kan yang terbebas dari amil-amil lafadz.
☆☆ Apa maksud dari terbebas dari amil-amil lafadz?
»»● Maksudnya mubtada itu di depan, dan dia tidak diawali dengan faktor apapun.
Karena nanti ada misalkan إنّ, yang merusak mubtada, begitupun dengan كان, ظنّ, dan sebagainya.
Makanya disini dikatakan, mubtada adalah ::
●●» isim yang dirofa’kan yang terbebas dari amil-amil lafadz.
»»● Disebut dengan amil lafadz, yaitu amil yang merubah keadaan mubtada.
وَالْخَبَرُ تَعْرِيْفُهُ: هُوَالْمُسْنَدُ الَّذِيْ تَتِمُّ بِهِ مَعَ الْمُبْتَدَإِ فَائِدَةِ.
Dan khabar, definisinya adalah: sesuatu yang disandarkan
الَّذِيْ تَتِمُّ بِهِ مَعَ الْمُبْتَدَإِ فَائِدَةِ.
Yang mubtada itu bersama khabar menjadi sempurna faidahnya.
Artinya dengan adanya khabar, maka akan memberikan faidah atau pemahaman kepada yang mendengarkan.
Contohnya kalau kita hanya mengatakan زَيْدٌ saja, tanpa dilanjutkan. Pasti orang akan bertanya, kenapa si Zaid?
Kita mengatakan زَيْدٌ, lalu kita diam.
Pasti orang akan bertanya, kenapa si Zaid?
Kalau kita lanjutkan
زَيْدٌ ذَكِيٌّ
"Zaid itu cerdas"
Maka ,
ذَكِيٌّ
Merupakan kabar/penjelasan/keterangan tentang kondisi si Zaid, bahwa si Zaid itu adalah pintar.
Jadi, khabar bersama mubtada, akan membentuk sebuah kalimat sempurna, yaitu yang dapat dipahami oleh orang yang mendengarkannya.
وَمِثاَلُهُماَ:
Dan contoh keduanya:
Yakni contoh dari mubtada dan khabar.
قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ: "الصَّلَاةُ نُوْرٌ".
Adalah sabda Nabi Shallallahu’alayhi wa Sallam,
●●» الصَّلَاةُ نُوْرٌ «●●
Yakni hadits riwayat Muslim, dari Al Harits Al Asy’ariy, radhiallahu’anhu
“Shalat adalah cahaya”
Disini…
ف(الصَّلَاةُ) : مُبْتَدَأٌ؛
Maka dalam kalimat
الصَّلَاةُ نُوْرٌ
الصَّلَاةُ merupakan mubtada
لِأَنَّهُ اِسْمٌ مَرْفُوْعٌ خاَلٍ عَنِ الْعَوَامِلِ اللَّفْظِيَّةِ.
Karena dia adalah isim yang dirofa’kan yang kosong,
خاَلٍ
Itu artinya kosong, atau bebas
عَنِ الْعَوَامِلِ اللَّفْظِيَّةِ.
Dari amil-amil lafadz
Yang terbebas dari amil-amil lafadz.
---------------------------------------------
📑👣
Kita lihat disini ada catatan kaki:
اُحْتُرِزَ بِهِ مِنَ الْمَقْرُوْنِ بِعَامِلٍ لَفْظِيٍّ كاَلْفِعْلِ، نَحْوُ: قَامَتِ الصَّلَاةُ، فَلَا يُقَالُ فِيْ الصَّلَاةِ مُبْتَدَأٌ بَلْ يُقَالُ فاَعِلٌ.
اُحْتُرِزَ
Itu artinya dikecualikan dengannya, yakni yang dimaksud dengan
خاَلٍ عَنِ الْعَوَامِلِ اللَّفْظِيَّةِ.
Kosong dari amil lafadz, dikecualikan darinya
الْمَقْرُوْنِ
Yang dikaitkan dengan amil lafadz, seperti fiil.
Contohnya
قَامَتِ الصَّلَاةُ
"Shalat hampir tegak"
فَلَا يُقَالُ فِيْ الصَّلَاةِ مُبْتَدَأٌ بَلْ يُقَالُ فاَعِلٌ.
Maka tidak dikatakan
الصَّلَاةُ
Dalam kalimat
قَامَتِ الصَّلَاةُ
Sebagai mubtada, bahkan dia adalah fail.
Jadi ini yang dimaksud dengan, mubtada itu :
خاَلٍ عَنِ الْعَوَامِلِ اللَّفْظِيَّةِ.
Terbebas dari amil lafadz
Kalimat ● الصَّلَاةُ نُوْرٌ ●
Sebelum kata
الصَّلَاةُ
Tidak ada apapun yang mendahuluinya, sehingga memang dia adalah mubtada.
Tapi kalau الصَّلَاةُ didepannya ada fiil seperti ●ْقَامَت●
Maka الصَّلَاةُ bukan mubtada lagi namanya, karena dia tidak terbebas dari amil lafadz,
karena disitu ● قَامَتْ ●
Dimana ● قَامَتْ ●
Adalah fiil, dan fiil butuh kepada fail
Jadi ini yang dimaksud dengan
خاَلٍ عَنِ الْعَوَامِلِ اللَّفْظِيَّةِ.
Thayyib…
---------------------------------------------------------
وَ(نُوْرٌ): خَبَرٌ؛ لِأَنَّهُ مُسْنَدٌ إِلَى الْمُبْتَدَإِ، وَتَمَّتْ بِهِ الْفَائِدَةُ.
Dan نُوْرٌ dalam kalimat الصَّلَاةُ نُوْرٌ adalah khabar
karena dia disandarkan kepada mubtada
وَتَمَّتْ بِهِ الْفَائِدَةُ.
Dan dengan adanya khabar ini sempurnalah faidahnya.
Artinya menjadi kalimat yang dapat dipahami maknanya.
Karena kalau kita hanya mengatakan
الصَّلَاةُ saja
tanpa diteruskan
maka tidak jelas maksudnya apa.
Tapi ketika kita lanjutkan
الصَّلَاةُ نُوْرٌ
Maka menjadi jelas, bahwa shalat itu adalah cahaya.
وَحُكْمُ الْمُبْتَدَإِ وَالْخَبَرِ: الرَّفْعُ باِلضَّمَّةِ أَوْ ماَناَبَ عَنْهَا.
Dan hukum, yakni I’rab, mubtada dan khabar,
الرَّفْعُ باِلضَّمَّةِ
Marfu’ dengan dhammah
أَوْ ماَناَبَ عَنْهَا.
Atau yang menggntikan dhammah.
Karena kita sudah pernah belajar di bab sebelumnya, di bab ma’rifati alamatil I’rab, mengenal tanda-tanda irab, bahwa rofa’ itu memang untuk al alamah al asliyyah, tanda aslinya adalah dhammah.
Tapi selain dhammah, rofa’ ini punya, al 'alamah al far’iyyah, tanda² yang sifatnya cabang yaitu wawu, alif, dan juga tsubutun nun.
Ini sudah berlalu pembahasannya di bab ma’rifati alamatil I’rab
لِأَنَّ الرَّفْعَ إِمَّا أَنْ يَكُوْنَ باِلضَّمَّةِ نَحْوُ قَوْلِكَ: زَيدٌ قاَئِمٌ
Karena rofa’ itu ada kalanya dengan dhammah.
Dan ini hukum asalnya.
Contohnya perkataanmu
زَيدٌ قاَئِمٌ
---------------------------------------------
📑👣
Kita lihat catatan kakinya:
زَيْدٌ : مُبْتَدَأٌ مَرْفُوْعٌ، وَعَلَامَةُ رَفْعِهِ الضَّمَّةُ،
Begitu pula قاَئِمٌ , sama:
قاَئِمٌ : خَبَرٌ مَرْفُوْعٌ وَعَلَامَةُ رَفْعِهِ الضَّمَّةُ.
---------------------------------------------
وَ إِمَّا أَنْ يَكُوْنَ الرَّفْعُ باِلْأَلِفِ نَحْوُ قَوْلِكَ: الزَّيْدَانِ قَائِماَنِ.
Dan adakalanya rofa’ itu dengan alif, bukan dhammah.
Contohnya perkataanmu:
الزَّيْدَانِ قَائِماَنِ.
2 orang Zaid berdiri
Dimana i’rabnya dicatatan kaki:
● الزَّيْدَانِ : مُبْتَدَأٌ مَرْفُوْعٌ، وَعَلَامَةُ رَفْعِهِ الْأَلِفُ، لِأَنَّهُ مُثَنَّى.
● قاَئِماَنِ: خَبَرٌ مَرْفُوْعٌ وَعَلَامَةُ رَفْعِهِ الْأَلِفُ؛ لِأَنَّهُ مُثَنَّى.
---------------------------------------------
وَ إِمَّا أَنْ يَكُوْنَ باِلْوَاوِ نَحْوُ قَوْلِكَ: الزَّيْدُوْنَ قاَئِمُوْنَ.
Dan adakalanya rofa’ itu dengan wawu.
Contohnya perkataanmu ::
الزَّيْدُوْنَ قاَئِمُوْنَ.
Yaitu pada jamak mudzakkar salim
I’rabnya kita lihat di catatan kaki:
الزَّيْدُوْنَ: مُبْتَدَأٌ مَرْفُوْعٌ وَعَلَامَةُ رَفْعِهِ الْوَاوُ؛ لِأَنَّهُ جَمْعُ مُذَكَّرٍ ساَلِمٌ.
قاَئِمُوْنَ: خَبَرٌ مَرْفُوْعٌ وَعَلَامَةُ رَفْعِهِ الْوَاوُ
Ini Insya Allah mudah…
------------------------------------------------
Kemudian, selanjutnya kita akan membahas:
🍥 أَقْسَامُ المُبْتَدَإِ:
🍥 *Macam-macam mubtada’*
قَالَ المُصَنِّفُ:
Berkata Mushannif:
وَالمُبْتَدَأُ قِسْمَانِ:
Mubtada itu ada 2 kelompok,
ظَاهِرٌ وَ مُضْمَرٌ،
☆ Mubtada yang dzahir
☆ mubtada yang dhamir
فَالظَّاهِرُ مَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ،
Maka mubtada yang dhahir, sebagaimana yang telah disebutkan, telah terdahulu peyebutannya.
yaitu penyebutan contohnya.
Karena di awal bab tentang mubtada khabar, pengarang kitab ini, yaitu Ibnu Ajurum Ashshonhaji, memberi contoh:
زَيدٌ قاَئِمٌ
الزَّيْدَانِ قَائِماَنِ
الزَّيْدُوْنَ قاَئِمُوْنَ
Maka
¤ زَيدٌ
¤ الزَّيْدَانِ
¤ الزَّيْدُوْنَ
Ini adalah contoh dari mubtada yang dhahir.
وَأَمَّا الْمُضْمَرُ فَالْوَاقِعُ مِنْهُ مُبْتَدَأً اثْنَا عَشَرَ ضَمِيْرًا، كُلُّهَا ضَمَائِرُ مُنْفَصِلَةٌ
Adapun dhamir, maka ia bisa menempati sebagai mubtada, yaitu pada 12 dhamir.
كُلُّهَا ضَمَائِرُ مُنْفَصِلَةٌ
Semuanya adalah dhamir-dhamir munfashilah, yang berpisah.
Kita sudah pernah membahas, bahwa dhamir itu ada yang muttashil, ada yang munfashil, ada yang bersambung, ada yang berpisah.
Nah, dhamir yang berpisah itu, yang kita hafal waktu belajar sharaf, dari dhamir huwa sampai nahnu.
هُوَ، هُمَا، هُمْ هِيَ، هُمَا، هُنَّ
Ini adalah dhamir yang berpisah, dhamir munfashil.
Kalau dhamir muttashil, itu dhamir yang nyambung.
Seperti pada fiil madhi:
ضربتُ، ضربنَا، ضربتِ
itu semua dhamir yang nyambung.
وَهِيَ:
Dan ke-12 dhamir itu adalah:
(أَنَا، وَنَحْنُ)
أَنَا: لِلْمُتَكَلِّمِ الوَاحِدِ،
Ini untuk orang yang berbicara sendirian.
وَنَحْنُ: لِلْمُتَكَلِّمِ المُنَعَدِّدِ،
Untuk org yang berbicara yang banyak.
◎ Kalau أَنَا untuk sendirian
◎ Kalau نَحْنُ untuk 2 keatas
أَوِ الْوَاحِدِ المُعَظِّمِ نَفْسَهُ.
Atau sendiri tapi dalam bentuk pengagungan dirinya
Seperti dalam ayat, yang ini telah dibahas, Alhamdulillah dipembahasan yang lalu.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan Al Quran”
Ini tidak menunjukkan bahwasannya Allah ada banyak. _Waliyyadzubillah_
Tapi menunjukkan bahwa ini bentuk ta’dhim.
Sebagaimana para Khatib, ketika berkhutbah, mengucapkan “kami menghimbau kepada para jama’ah untuk, dan seterusnya”
Maka kami menghimbau disini, bukan berarti khatib banyak, tapi ini salah satu bentuk ta’dzim.
تَقُوْلُ: أَنَا قَائِمٌ، وَنَحْنُ قَائِمُوْنَ.
Engkau katakan
أَنَا قَائِمٌ
"Saya berdiri"
وَنَحْنُ قَائِمُوْنَ
Dan "kami berdiri"
Alhamdulillah, kita sudah bahas di Program BINA. Bahwasanya untuk mubtada dan khabar ini kaidahnya adalah Madu, Manis, Dari, Malang.
Saya sebutkan untuk muraja’ah, dimana:
☘ Madu :: MArfu’ keDUanya
☘ Manis :: saMA jeNisnya
Artinya kalau mubtadanya mudzakkar, khabarnya mudzakkar. Kalau mubtadanya muannats, khabarnya muannats.
☘ Dari :: mubtaDA harus Ma’Rifat
☘ Malang :: saMa biLANGannya.
Kalau mubtadanya mufrad, khabarnya mufrad, kl mutsnanna-mutsanna, kalau jamak, juga jamak
Dan ini contoh:
●● أَنَا قَائِمٌ
وَنَحْنُ قَائِمُوْنَ
Ini telah memenuhi kadiah Madu Manis Dari Malang.
Thayyib..
------------------------------------------------
Kemudian selanjutnya,
(أنْتَ، وَأنْتِ)
لِلْمُخَاطَبِ المُفْرَدِ;
Dhamir أنْتَ dan أنْتِ ini untuk yang diajak berbicara tunggal.
أنْتَ:»» لِلْمُذَكَّرِ، وَأنْتِ: لِلْمُؤَنَثَةِ.
Dhamir أنْتَ untuk mudzakkar, dan أنْتِ untuk wanita.
تَقُوْلُ: أَنْتَ قَائِمٌ، وَأنْتِ قَائِمَةٌ.
Insya Allah ini mudah ya..
------------------------------------------------
أنْتُمَا »» لِلْمُخَاطَبَيْنِ مُذَكَّرَيْنِ كَانَا أَوْ مُؤَنَثَتَيْنِ.
Dhamir أنْتُمَا ini untuk yang diajak bicara 2 orang, baik dua-duanya laki-laki, atau dua-duanya wanita, atau satu laki-laki dan satu wanita
–ini tambahan dari saya yang terakhir-
تَقُوْلُ: أَنْتُمَا قَائِمَانِ، وَأنْتُمَا قَائِمَتَانِ.
------------------------------------------------
( أَنْتُمْ ، وَ أَنْتُنَّ)»» لِلْمُخَاطَبِ الْجَمْعِ،
Dhamir أَنْتُمْ dan أَنْتُنَّ ini untuk yang diajak bicara jamak, banyak.
أَنْتُم : لِلْمُذَكَّرِ، وَ أَنْتُنَّ لِلْمُؤَنَّثِ .
Dhamir أَنْتُمْ untuk mudzakkar dan أَنْتُنَّ untuk muannats
تَقُوْلُ : أنْتُمْ قَائِمُوْنَ ، وَ أنْتُنَّ قَائِمَاتٌ.
------------------------------------------------
(هُوَ، وَ هِيَ)»» لِلْغَائِبِ الْمُفْرَدِ،
Dhamir هُوَ dan هِيَ untuk kata ganti orang ketiga tunggal
هُوَ »»لِلْمُذَكَّرِ، وَ هِيَ:»» لِلْمُؤَنَّثِ
تَقُلُ : هُوَ قَائِمٌ، وَ هِيَ قَائِمَةٌ.
Ini insya Allah mudah ya..
------------------------------------------------
هُمَا »» لِلْغَائِبَيْنِ مُذَكَّرَيْنِ كَنَا أَوْ مُؤَنَّثَتَيْنِ.
Dhamir هُمَا ini untuk kata ganti orang ketiga ganda, baik dua-duanya mudzakkar, atau dua-duanya muannats, atau satu mudzakkar dan satu muannats.
تَقُوْلُ: هُمَا قَائِمَانِ، وَهُمَا قَائِمَتَانِ.
------------------------------------------------
(هُمْ ، وَ هُنَّ) »» لِلْغَائِبِ الْجَمْعِ،
Dhamir هُمْ dan هُنَّ ini untuk kata ganti orang ketiga jamak
هُمْ : »» لِلْمُذَكَّرِ، وَهُنَّ لِلْمُؤَنَّثِ.
تَقُوْلُ : هُمْ قَائِمُوْنَ ، وَ هُنَّ قَائِمَاتٌ.
Ini insya Allah mudah, untuk mubtada yang dhamir. Pokoknya seluruh dhamir, dari huwa sampai nahnu, semuanya bisa dipakai sebagai mubtada.
Karena dhamir itu termasuk isim yang ma’rifat, sehingga boleh dipakai sebagai mubtada.
------------------------------------------------
فَالْمُبْتَدَأُ فِيْ هَذِهِ الأمْثِلَةِ مُضْمَرٌ، وَلا يَكُوْنُ إلَّا مُنْفَصِلًا، وَهُوَ مَبْنِيٌّ لآ يَدْخُلُ فِيْهِ إِعْرَابٌ ،
Maka mubtada’ pada contoh-contoh ini, semuanya adalah dhamir.
Dan tidaklah ia kecuali munfashil.
–ya maksudnya, dhamirnya itu harus dhamir yang munfashil-
وَهُوَ مَبْنِيٌّ
Dan dia, yaitu dhamir yang 12 ini, adalah mabniy.
لآ يَدْخُلُ فِيْهِ إِعْرَابٌ
Tidaklah bisa masuk padanya I’rab atau perubahan
وَ إنَّمَا يُبْنَى عَلَى مَا سُمِعَ عَلَيْهِ،
Dan sesungguhnya dhamir-dhamir ini dimabniykan atas apa yang didengar darinya.
Misalkan :: هُوَ
Yang kita dengarkan kan akhirnya fathah, kita katakan:
مَبْنِيٌّ عَلَى الفَتحِ
أنْتَ – fathah
أنْتِ – kasrah
هُمَا – sukun
هُمْ – sukun
هُنَّ – fathah
Dan seterusnya.
وَيُقَالُ فِي إِعْرَابِهِ : فِيْ مَحَلِّ رَفْعٍ مُبْتَدَأٌ.
Dan dikatakan ketika mengi’rabnya:
فِيْ مَحَلِّ رَفْعٍ مُبْتَدَأٌ.
Jadi cara i'robnya misalkan :: هُوَ قَائِمٌ
●● هُوَ »» ضَميرُ رَفْعٍ مُنْفَصِلٌ مَبْنِيٌّ عَلَى الفَتْحِ فِيْ مَحَلِّ رَفْعٍ مُبْتَدَأٌ
Begitupun dhomir yang lain cara mengirobnya seperti ini.
فَتَقُوْلُ فِي إِعْرَابِ نَحوُ: (أَنَا قَائِمٌ): أَنَا: ضَمِيْرٌ مُنْفَصِلٌ مَبْنِيٌّ عَلَى السُّكُونِ فِيْ مَحَلِّ رَفْعٍ مُبْتَدَأٌ.
Maka engkau ketika engkau mengi’rab contoh :
●● أَنَا قَائِمٌ
أَنَا: ضَمِيْرٌ مُنْفَصِلٌ مَبْنِيٌّ عَلَى السُّكُونِ فِيْ مَحَلِّ رَفْعٍ مُبْتَدَأٌ.
Disini ada tanbih ya:
ذَكَرَ ابْنُ هِشَامِ أَنَّ الضَّمِيْرَ فِيْ قَوْلِكَ : أنْتَ ، وَ أَنْتِ ، وَ أَنْتُمَا ، وَ أَنْتُمْ، وَ أَنْتُنَّ . هُوَ : أنْ، وَ الْتَاءُ حَرْفُ خِطَابٍ، وَنَسَبَ هَذَا الْقَوْلُ إلَىالْجُمْهُوْرِ.
يُنْظَرُ : الْمُغْنِيٌّ ص ( ٤۱) . وَالضَمِيْرُ فِيْ هُمَا، وَ هُمْ،وَ هُنَّ الْهَاءُ فَقَطْ.
Ini salah satu pendapat:
Ibnu Hisyam, mengatakan bahwa, dhamir yang ada dalam dhamir أنْتَ ، أَنْتِ ، أَنْتُمَا ، أَنْتُمْ، أَنْتُنَّ, adalah أنْ saja.
Jadi أنْتَ ، أَنْتِ ، أَنْتُمَا ، أَنْتُمْ، أَنْتُنَّ , yang dhamir itu أنْ saja. Adapun تَ ،تِ ،تُمَا ،تُمْ، تُنَّ , merupakan huruf khithab.
●●Huruf khitab itu adalah huruf yang disesuaikan dengan yang diajak bicara.
Kenapa kalau kata ganti untuk orang kedua tunggal, تَ?
>> Karena khitab untuk orang kedua tunggal laki-laki adalah تَ ,kalau wanita, تِ , kalau dua, تُمَا, kalau banyak, تُمْ , kalau wanita تُنَّ .
وَنَسَبَ هَذَا الْقَوْلُ إلَى الْجُمْهُوْرِ. يَنْظُرُ : الْمُغْنَيٌّ ص ( ٤۱) .
Dan Ibnu Hisyam, menisbatkan perkataannya yang ini, kepada pendapat jumhur. Ini bisa dilihat dalam Kitab Al Mughni, halaman 41.
وَالضَمِيْرُ فِيْ هُمَا، وَ هُمْ،وَ هُنَّ الْهَاءُ فَقَطْ
Adapun dhamir pada هُمَا، هُمْ، هُنَّ, adalah ha’nya saja
Karena memang salah satu cara ngi’rab dhamir, هُمَا، هُمْ، هُنَّ, misalkan هُمْ itu yang menjadi dhamir ha-nya saja, adapun mim-nya
عَلَامَةُ الجَمعِ الذُّكُورِ
Tanda jamak mudzakkar.
Adapun هُنَّ
Dhamirnya ha-nya saja. Adapun nun-nya
عَلَامَةُ الجَمعِ الإنَاثِ
Tapi ini untuk yang sudah paham betul cara meng’irab.
Kita boleh saja mengi’rab secara keseluruhan, kita katakan:
هُمْ: مَبْنِيٌّ عَلَى السُّكُونِ
Tapi boleh juga kita pisah
●Ha-nya dhamir
●Lalu kita katakan
وَالمِيمُ عَلَامَةُ الجَمعِ
Dan memang yang lebih ahsan, yang lebih afdhal, cara yang kedua ya, yaitu cara yang mendetailkan.
هُمَا
Kita pisahkan antara ha dan maa
Tapi untuk dhamir أنْتَ ، أَنْتِ ، أَنْتُمَا ، أَنْتُمْ، أَنْتُنَّ , yang lebih afdhal adalah tidak dipisahkan.
أنْتَ
Yg di’irab, أنْتَ tidak dipisahkan antara أنْ dan تَ
Thayyib..
Ini yang saya dapati dari guru-guru saya.
Kita cukupkan sampai disini, karena sudah cukup panjang. Insya Allah untuk macam² khabar kita akan bahas di audio yang selanjutnya.
Semoga bermanfaat.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
سبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
📝 Transkrip Materi BINAR Pekan 15
🎧 Pengisi Materi :: Ustadz Abu Razin
📚 Dars 33 :: Bab Mubtada dan Khabar : Mubtada
⌛ Durasi audio :: 21.55 menit
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله و صحبه ومن والاه, أما بعد.
Alhamdulillah kita melanjutkan pembahasan dari Kitab Al Mumti’ Fii Syahril Ajurrumiyyah, dan Alhamdulillah kita sudah sampai ke pembahasan tentang بَابُ الْمُبْتَدَإِ وَالْخَبَرِ , bab tentang mubtada dan khabar
قَالَ الْمُصَنِّفُ رحمه الله تعالى
Berkata pengarang kitab Al-Ajurumiyyah, yaitu Ibnu Ajurum Ashshonhaji, رحمه الله تعالى.
بَابُ الْمُبْتَدَإِ وَالْخَبَرِ:
*Bab tentang mubtada dan khabar*
🍥 الْمُبْتَدَأُ: هُوَ الْإِسْمُ الْمَرْفُوْعُ الْعَارِيْ عَنِ الْعَوَامِلِ اللَّفْظِيَّةِ،
🍥 Mubtada adalah isim yang dirofa’kan, yang terbebas dari amil-amil lafadz, dari faktor-faktor yang bersifat lafadz.
🍥 وَالْخَبَرُ: هُوَالْإِسْمُ الْمَرْفُوْعُ الْمُسْنَدُ اِلَيْهِ،
🍥 Sedangkan khabar, adalah isim yang dirofa’kan, yang disandarkan kepada mubtada.
Ini definisi sederhana dari khabar.
نَحْوُ قَوْلِكَ:
Contohnya perkataanmu:
زَيْدٌ قَائِمٌ،
●● Zaid berdiri
وَالزَّيدَانِ قَائِمَانِ،
●● 2 orang Zaid berdiri
وَالزَّيْدُوْنَ قَائِمُوْنَ.
●● Dan banyak Zaid berdiri
🍃الشَّرْحُ:
■ *Penjelasan:*
بَعْدَ أَنْ فَرَغَ المُصَنِّفُ مِنْ ذِكْرِ الْفَاعِلِ وَنَائِبِ الْفَاعِلِ، شَرَعَ فِيْ ذِكْرِ الْمُبْتَدَإِ وَالْخَبَرِ، وَجَمَعَهُمَا فِيْ بَابِ وَاحِدٍ؛
Setelah Mushannif selesai menyebutkan tentang fail dan naibul fail, Mushannif, yakni Ashshonhaji, mulai menyebutkan tentang mubtada dan khabar, dan mengumpulkan pembahasan keduanya di bab yang sama.
Karena ini masih dalam satu kesatuan tentang marfu'atil asma’, kedudukan kata dalam kalimat yang wajib marfu’.
Sudah kita bahas kemarin yang pertama fail,
kemudian setelah itu naibul fail,
sekarang kita bahas yang ketiga dan keempat,
yaitu mubtada dan khabar.
Dan keduanya disatukan dalam satu bab. Kenapa?
لِأَنَّ الْخَبَرَ لَازِمٌ لِلْمُبْتَدَإِ غَالِبًا،
Karena khabar itu senantiasa membersamai mubtada.
Jadi ibarat kata tidak mungkin ada mubtada, kalau tidak ada khabar, dan sebaliknya.
وَيُشَكِّلُ مَعَهُ جُمْلَةً اِسْمِيَّةً،
Dan khabar bersama mubtada ini membentuk sebuah kalimat yang disebut dengan jumlah ismiyyah.
يُسَمَّى الرُّكْنُ الْأَوَّلُ مِنْهَا: مُبْتَدَأً؛ لِأَنَّ الْجُمْلَتَ تَبْتَدِئُ بِهِ.
Dinamakan rukun jumlah ismiyyah yang pertama adalah mubtada, karena kalimat dimulai dengan mubtada.
وَيُسَمَّى الرُّكْنُ الثَّانِيْ مِنْهَا:خَبَرًا؛
Dan dinamakan rukun yang kedua dari jumlah ismiyyah adalah khabar.
Kenapa disebut sebagai khabar?
لِأَنَّهُ يُخْبَرُ بِهِ عَنِ الْمُبْتَدَإِ.
Karena khabar itu mengabarkan tentang si mubtada.
Jadi jumlah ismiyyah memiliki dua rukun::
1⭐ Rukun yang pertama disebut sebagai mubtada,
2⭐ Rukun yang kedua disebut sebagai khabar.
⭐ Kenapa dinamakan mubtada?
»» Ya, sesuai dengan namanya, mubtada itu artinya yang didepan/yang diawal.
⭐ Sedangkan khabar, sesuai dengan namanya, khabar itu artinya kabar, penjelasan, dimana khabar itu menjelaskan keadaan atau kondisi si mubtada
وَالْمُبْتَدَأُ تَعْرِيْفُهُ: هُوَ الْإِسْمُ الْمَرْفُوْعُ الْعَارِيْ عَنِ الْعَوَامِلِ اللَّفْظِيَّةِ
Dan mubtada itu definisinya adalah ::
»»● isim yang dirofa’kan yang terbebas dari amil-amil lafadz.
☆☆ Apa maksud dari terbebas dari amil-amil lafadz?
»»● Maksudnya mubtada itu di depan, dan dia tidak diawali dengan faktor apapun.
Karena nanti ada misalkan إنّ, yang merusak mubtada, begitupun dengan كان, ظنّ, dan sebagainya.
Makanya disini dikatakan, mubtada adalah ::
●●» isim yang dirofa’kan yang terbebas dari amil-amil lafadz.
»»● Disebut dengan amil lafadz, yaitu amil yang merubah keadaan mubtada.
وَالْخَبَرُ تَعْرِيْفُهُ: هُوَالْمُسْنَدُ الَّذِيْ تَتِمُّ بِهِ مَعَ الْمُبْتَدَإِ فَائِدَةِ.
Dan khabar, definisinya adalah: sesuatu yang disandarkan
الَّذِيْ تَتِمُّ بِهِ مَعَ الْمُبْتَدَإِ فَائِدَةِ.
Yang mubtada itu bersama khabar menjadi sempurna faidahnya.
Artinya dengan adanya khabar, maka akan memberikan faidah atau pemahaman kepada yang mendengarkan.
Contohnya kalau kita hanya mengatakan زَيْدٌ saja, tanpa dilanjutkan. Pasti orang akan bertanya, kenapa si Zaid?
Kita mengatakan زَيْدٌ, lalu kita diam.
Pasti orang akan bertanya, kenapa si Zaid?
Kalau kita lanjutkan
زَيْدٌ ذَكِيٌّ
"Zaid itu cerdas"
Maka ,
ذَكِيٌّ
Merupakan kabar/penjelasan/keterangan tentang kondisi si Zaid, bahwa si Zaid itu adalah pintar.
Jadi, khabar bersama mubtada, akan membentuk sebuah kalimat sempurna, yaitu yang dapat dipahami oleh orang yang mendengarkannya.
وَمِثاَلُهُماَ:
Dan contoh keduanya:
Yakni contoh dari mubtada dan khabar.
قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ: "الصَّلَاةُ نُوْرٌ".
Adalah sabda Nabi Shallallahu’alayhi wa Sallam,
●●» الصَّلَاةُ نُوْرٌ «●●
Yakni hadits riwayat Muslim, dari Al Harits Al Asy’ariy, radhiallahu’anhu
“Shalat adalah cahaya”
Disini…
ف(الصَّلَاةُ) : مُبْتَدَأٌ؛
Maka dalam kalimat
الصَّلَاةُ نُوْرٌ
الصَّلَاةُ merupakan mubtada
لِأَنَّهُ اِسْمٌ مَرْفُوْعٌ خاَلٍ عَنِ الْعَوَامِلِ اللَّفْظِيَّةِ.
Karena dia adalah isim yang dirofa’kan yang kosong,
خاَلٍ
Itu artinya kosong, atau bebas
عَنِ الْعَوَامِلِ اللَّفْظِيَّةِ.
Dari amil-amil lafadz
Yang terbebas dari amil-amil lafadz.
---------------------------------------------
📑👣
Kita lihat disini ada catatan kaki:
اُحْتُرِزَ بِهِ مِنَ الْمَقْرُوْنِ بِعَامِلٍ لَفْظِيٍّ كاَلْفِعْلِ، نَحْوُ: قَامَتِ الصَّلَاةُ، فَلَا يُقَالُ فِيْ الصَّلَاةِ مُبْتَدَأٌ بَلْ يُقَالُ فاَعِلٌ.
اُحْتُرِزَ
Itu artinya dikecualikan dengannya, yakni yang dimaksud dengan
خاَلٍ عَنِ الْعَوَامِلِ اللَّفْظِيَّةِ.
Kosong dari amil lafadz, dikecualikan darinya
الْمَقْرُوْنِ
Yang dikaitkan dengan amil lafadz, seperti fiil.
Contohnya
قَامَتِ الصَّلَاةُ
"Shalat hampir tegak"
فَلَا يُقَالُ فِيْ الصَّلَاةِ مُبْتَدَأٌ بَلْ يُقَالُ فاَعِلٌ.
Maka tidak dikatakan
الصَّلَاةُ
Dalam kalimat
قَامَتِ الصَّلَاةُ
Sebagai mubtada, bahkan dia adalah fail.
Jadi ini yang dimaksud dengan, mubtada itu :
خاَلٍ عَنِ الْعَوَامِلِ اللَّفْظِيَّةِ.
Terbebas dari amil lafadz
Kalimat ● الصَّلَاةُ نُوْرٌ ●
Sebelum kata
الصَّلَاةُ
Tidak ada apapun yang mendahuluinya, sehingga memang dia adalah mubtada.
Tapi kalau الصَّلَاةُ didepannya ada fiil seperti ●ْقَامَت●
Maka الصَّلَاةُ bukan mubtada lagi namanya, karena dia tidak terbebas dari amil lafadz,
karena disitu ● قَامَتْ ●
Dimana ● قَامَتْ ●
Adalah fiil, dan fiil butuh kepada fail
Jadi ini yang dimaksud dengan
خاَلٍ عَنِ الْعَوَامِلِ اللَّفْظِيَّةِ.
Thayyib…
---------------------------------------------------------
وَ(نُوْرٌ): خَبَرٌ؛ لِأَنَّهُ مُسْنَدٌ إِلَى الْمُبْتَدَإِ، وَتَمَّتْ بِهِ الْفَائِدَةُ.
Dan نُوْرٌ dalam kalimat الصَّلَاةُ نُوْرٌ adalah khabar
karena dia disandarkan kepada mubtada
وَتَمَّتْ بِهِ الْفَائِدَةُ.
Dan dengan adanya khabar ini sempurnalah faidahnya.
Artinya menjadi kalimat yang dapat dipahami maknanya.
Karena kalau kita hanya mengatakan
الصَّلَاةُ saja
tanpa diteruskan
maka tidak jelas maksudnya apa.
Tapi ketika kita lanjutkan
الصَّلَاةُ نُوْرٌ
Maka menjadi jelas, bahwa shalat itu adalah cahaya.
وَحُكْمُ الْمُبْتَدَإِ وَالْخَبَرِ: الرَّفْعُ باِلضَّمَّةِ أَوْ ماَناَبَ عَنْهَا.
Dan hukum, yakni I’rab, mubtada dan khabar,
الرَّفْعُ باِلضَّمَّةِ
Marfu’ dengan dhammah
أَوْ ماَناَبَ عَنْهَا.
Atau yang menggntikan dhammah.
Karena kita sudah pernah belajar di bab sebelumnya, di bab ma’rifati alamatil I’rab, mengenal tanda-tanda irab, bahwa rofa’ itu memang untuk al alamah al asliyyah, tanda aslinya adalah dhammah.
Tapi selain dhammah, rofa’ ini punya, al 'alamah al far’iyyah, tanda² yang sifatnya cabang yaitu wawu, alif, dan juga tsubutun nun.
Ini sudah berlalu pembahasannya di bab ma’rifati alamatil I’rab
لِأَنَّ الرَّفْعَ إِمَّا أَنْ يَكُوْنَ باِلضَّمَّةِ نَحْوُ قَوْلِكَ: زَيدٌ قاَئِمٌ
Karena rofa’ itu ada kalanya dengan dhammah.
Dan ini hukum asalnya.
Contohnya perkataanmu
زَيدٌ قاَئِمٌ
---------------------------------------------
📑👣
Kita lihat catatan kakinya:
زَيْدٌ : مُبْتَدَأٌ مَرْفُوْعٌ، وَعَلَامَةُ رَفْعِهِ الضَّمَّةُ،
Begitu pula قاَئِمٌ , sama:
قاَئِمٌ : خَبَرٌ مَرْفُوْعٌ وَعَلَامَةُ رَفْعِهِ الضَّمَّةُ.
---------------------------------------------
وَ إِمَّا أَنْ يَكُوْنَ الرَّفْعُ باِلْأَلِفِ نَحْوُ قَوْلِكَ: الزَّيْدَانِ قَائِماَنِ.
Dan adakalanya rofa’ itu dengan alif, bukan dhammah.
Contohnya perkataanmu:
الزَّيْدَانِ قَائِماَنِ.
2 orang Zaid berdiri
Dimana i’rabnya dicatatan kaki:
● الزَّيْدَانِ : مُبْتَدَأٌ مَرْفُوْعٌ، وَعَلَامَةُ رَفْعِهِ الْأَلِفُ، لِأَنَّهُ مُثَنَّى.
● قاَئِماَنِ: خَبَرٌ مَرْفُوْعٌ وَعَلَامَةُ رَفْعِهِ الْأَلِفُ؛ لِأَنَّهُ مُثَنَّى.
---------------------------------------------
وَ إِمَّا أَنْ يَكُوْنَ باِلْوَاوِ نَحْوُ قَوْلِكَ: الزَّيْدُوْنَ قاَئِمُوْنَ.
Dan adakalanya rofa’ itu dengan wawu.
Contohnya perkataanmu ::
الزَّيْدُوْنَ قاَئِمُوْنَ.
Yaitu pada jamak mudzakkar salim
I’rabnya kita lihat di catatan kaki:
الزَّيْدُوْنَ: مُبْتَدَأٌ مَرْفُوْعٌ وَعَلَامَةُ رَفْعِهِ الْوَاوُ؛ لِأَنَّهُ جَمْعُ مُذَكَّرٍ ساَلِمٌ.
قاَئِمُوْنَ: خَبَرٌ مَرْفُوْعٌ وَعَلَامَةُ رَفْعِهِ الْوَاوُ
Ini Insya Allah mudah…
------------------------------------------------
Kemudian, selanjutnya kita akan membahas:
🍥 أَقْسَامُ المُبْتَدَإِ:
🍥 *Macam-macam mubtada’*
قَالَ المُصَنِّفُ:
Berkata Mushannif:
وَالمُبْتَدَأُ قِسْمَانِ:
Mubtada itu ada 2 kelompok,
ظَاهِرٌ وَ مُضْمَرٌ،
☆ Mubtada yang dzahir
☆ mubtada yang dhamir
فَالظَّاهِرُ مَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ،
Maka mubtada yang dhahir, sebagaimana yang telah disebutkan, telah terdahulu peyebutannya.
yaitu penyebutan contohnya.
Karena di awal bab tentang mubtada khabar, pengarang kitab ini, yaitu Ibnu Ajurum Ashshonhaji, memberi contoh:
زَيدٌ قاَئِمٌ
الزَّيْدَانِ قَائِماَنِ
الزَّيْدُوْنَ قاَئِمُوْنَ
Maka
¤ زَيدٌ
¤ الزَّيْدَانِ
¤ الزَّيْدُوْنَ
Ini adalah contoh dari mubtada yang dhahir.
وَأَمَّا الْمُضْمَرُ فَالْوَاقِعُ مِنْهُ مُبْتَدَأً اثْنَا عَشَرَ ضَمِيْرًا، كُلُّهَا ضَمَائِرُ مُنْفَصِلَةٌ
Adapun dhamir, maka ia bisa menempati sebagai mubtada, yaitu pada 12 dhamir.
كُلُّهَا ضَمَائِرُ مُنْفَصِلَةٌ
Semuanya adalah dhamir-dhamir munfashilah, yang berpisah.
Kita sudah pernah membahas, bahwa dhamir itu ada yang muttashil, ada yang munfashil, ada yang bersambung, ada yang berpisah.
Nah, dhamir yang berpisah itu, yang kita hafal waktu belajar sharaf, dari dhamir huwa sampai nahnu.
هُوَ، هُمَا، هُمْ هِيَ، هُمَا، هُنَّ
Ini adalah dhamir yang berpisah, dhamir munfashil.
Kalau dhamir muttashil, itu dhamir yang nyambung.
Seperti pada fiil madhi:
ضربتُ، ضربنَا، ضربتِ
itu semua dhamir yang nyambung.
وَهِيَ:
Dan ke-12 dhamir itu adalah:
(أَنَا، وَنَحْنُ)
أَنَا: لِلْمُتَكَلِّمِ الوَاحِدِ،
Ini untuk orang yang berbicara sendirian.
وَنَحْنُ: لِلْمُتَكَلِّمِ المُنَعَدِّدِ،
Untuk org yang berbicara yang banyak.
◎ Kalau أَنَا untuk sendirian
◎ Kalau نَحْنُ untuk 2 keatas
أَوِ الْوَاحِدِ المُعَظِّمِ نَفْسَهُ.
Atau sendiri tapi dalam bentuk pengagungan dirinya
Seperti dalam ayat, yang ini telah dibahas, Alhamdulillah dipembahasan yang lalu.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan Al Quran”
Ini tidak menunjukkan bahwasannya Allah ada banyak. _Waliyyadzubillah_
Tapi menunjukkan bahwa ini bentuk ta’dhim.
Sebagaimana para Khatib, ketika berkhutbah, mengucapkan “kami menghimbau kepada para jama’ah untuk, dan seterusnya”
Maka kami menghimbau disini, bukan berarti khatib banyak, tapi ini salah satu bentuk ta’dzim.
تَقُوْلُ: أَنَا قَائِمٌ، وَنَحْنُ قَائِمُوْنَ.
Engkau katakan
أَنَا قَائِمٌ
"Saya berdiri"
وَنَحْنُ قَائِمُوْنَ
Dan "kami berdiri"
Alhamdulillah, kita sudah bahas di Program BINA. Bahwasanya untuk mubtada dan khabar ini kaidahnya adalah Madu, Manis, Dari, Malang.
Saya sebutkan untuk muraja’ah, dimana:
☘ Madu :: MArfu’ keDUanya
☘ Manis :: saMA jeNisnya
Artinya kalau mubtadanya mudzakkar, khabarnya mudzakkar. Kalau mubtadanya muannats, khabarnya muannats.
☘ Dari :: mubtaDA harus Ma’Rifat
☘ Malang :: saMa biLANGannya.
Kalau mubtadanya mufrad, khabarnya mufrad, kl mutsnanna-mutsanna, kalau jamak, juga jamak
Dan ini contoh:
●● أَنَا قَائِمٌ
وَنَحْنُ قَائِمُوْنَ
Ini telah memenuhi kadiah Madu Manis Dari Malang.
Thayyib..
------------------------------------------------
Kemudian selanjutnya,
(أنْتَ، وَأنْتِ)
لِلْمُخَاطَبِ المُفْرَدِ;
Dhamir أنْتَ dan أنْتِ ini untuk yang diajak berbicara tunggal.
أنْتَ:»» لِلْمُذَكَّرِ، وَأنْتِ: لِلْمُؤَنَثَةِ.
Dhamir أنْتَ untuk mudzakkar, dan أنْتِ untuk wanita.
تَقُوْلُ: أَنْتَ قَائِمٌ، وَأنْتِ قَائِمَةٌ.
Insya Allah ini mudah ya..
------------------------------------------------
أنْتُمَا »» لِلْمُخَاطَبَيْنِ مُذَكَّرَيْنِ كَانَا أَوْ مُؤَنَثَتَيْنِ.
Dhamir أنْتُمَا ini untuk yang diajak bicara 2 orang, baik dua-duanya laki-laki, atau dua-duanya wanita, atau satu laki-laki dan satu wanita
–ini tambahan dari saya yang terakhir-
تَقُوْلُ: أَنْتُمَا قَائِمَانِ، وَأنْتُمَا قَائِمَتَانِ.
------------------------------------------------
( أَنْتُمْ ، وَ أَنْتُنَّ)»» لِلْمُخَاطَبِ الْجَمْعِ،
Dhamir أَنْتُمْ dan أَنْتُنَّ ini untuk yang diajak bicara jamak, banyak.
أَنْتُم : لِلْمُذَكَّرِ، وَ أَنْتُنَّ لِلْمُؤَنَّثِ .
Dhamir أَنْتُمْ untuk mudzakkar dan أَنْتُنَّ untuk muannats
تَقُوْلُ : أنْتُمْ قَائِمُوْنَ ، وَ أنْتُنَّ قَائِمَاتٌ.
------------------------------------------------
(هُوَ، وَ هِيَ)»» لِلْغَائِبِ الْمُفْرَدِ،
Dhamir هُوَ dan هِيَ untuk kata ganti orang ketiga tunggal
هُوَ »»لِلْمُذَكَّرِ، وَ هِيَ:»» لِلْمُؤَنَّثِ
تَقُلُ : هُوَ قَائِمٌ، وَ هِيَ قَائِمَةٌ.
Ini insya Allah mudah ya..
------------------------------------------------
هُمَا »» لِلْغَائِبَيْنِ مُذَكَّرَيْنِ كَنَا أَوْ مُؤَنَّثَتَيْنِ.
Dhamir هُمَا ini untuk kata ganti orang ketiga ganda, baik dua-duanya mudzakkar, atau dua-duanya muannats, atau satu mudzakkar dan satu muannats.
تَقُوْلُ: هُمَا قَائِمَانِ، وَهُمَا قَائِمَتَانِ.
------------------------------------------------
(هُمْ ، وَ هُنَّ) »» لِلْغَائِبِ الْجَمْعِ،
Dhamir هُمْ dan هُنَّ ini untuk kata ganti orang ketiga jamak
هُمْ : »» لِلْمُذَكَّرِ، وَهُنَّ لِلْمُؤَنَّثِ.
تَقُوْلُ : هُمْ قَائِمُوْنَ ، وَ هُنَّ قَائِمَاتٌ.
Ini insya Allah mudah, untuk mubtada yang dhamir. Pokoknya seluruh dhamir, dari huwa sampai nahnu, semuanya bisa dipakai sebagai mubtada.
Karena dhamir itu termasuk isim yang ma’rifat, sehingga boleh dipakai sebagai mubtada.
------------------------------------------------
فَالْمُبْتَدَأُ فِيْ هَذِهِ الأمْثِلَةِ مُضْمَرٌ، وَلا يَكُوْنُ إلَّا مُنْفَصِلًا، وَهُوَ مَبْنِيٌّ لآ يَدْخُلُ فِيْهِ إِعْرَابٌ ،
Maka mubtada’ pada contoh-contoh ini, semuanya adalah dhamir.
Dan tidaklah ia kecuali munfashil.
–ya maksudnya, dhamirnya itu harus dhamir yang munfashil-
وَهُوَ مَبْنِيٌّ
Dan dia, yaitu dhamir yang 12 ini, adalah mabniy.
لآ يَدْخُلُ فِيْهِ إِعْرَابٌ
Tidaklah bisa masuk padanya I’rab atau perubahan
وَ إنَّمَا يُبْنَى عَلَى مَا سُمِعَ عَلَيْهِ،
Dan sesungguhnya dhamir-dhamir ini dimabniykan atas apa yang didengar darinya.
Misalkan :: هُوَ
Yang kita dengarkan kan akhirnya fathah, kita katakan:
مَبْنِيٌّ عَلَى الفَتحِ
أنْتَ – fathah
أنْتِ – kasrah
هُمَا – sukun
هُمْ – sukun
هُنَّ – fathah
Dan seterusnya.
وَيُقَالُ فِي إِعْرَابِهِ : فِيْ مَحَلِّ رَفْعٍ مُبْتَدَأٌ.
Dan dikatakan ketika mengi’rabnya:
فِيْ مَحَلِّ رَفْعٍ مُبْتَدَأٌ.
Jadi cara i'robnya misalkan :: هُوَ قَائِمٌ
●● هُوَ »» ضَميرُ رَفْعٍ مُنْفَصِلٌ مَبْنِيٌّ عَلَى الفَتْحِ فِيْ مَحَلِّ رَفْعٍ مُبْتَدَأٌ
Begitupun dhomir yang lain cara mengirobnya seperti ini.
فَتَقُوْلُ فِي إِعْرَابِ نَحوُ: (أَنَا قَائِمٌ): أَنَا: ضَمِيْرٌ مُنْفَصِلٌ مَبْنِيٌّ عَلَى السُّكُونِ فِيْ مَحَلِّ رَفْعٍ مُبْتَدَأٌ.
Maka engkau ketika engkau mengi’rab contoh :
●● أَنَا قَائِمٌ
أَنَا: ضَمِيْرٌ مُنْفَصِلٌ مَبْنِيٌّ عَلَى السُّكُونِ فِيْ مَحَلِّ رَفْعٍ مُبْتَدَأٌ.
Disini ada tanbih ya:
ذَكَرَ ابْنُ هِشَامِ أَنَّ الضَّمِيْرَ فِيْ قَوْلِكَ : أنْتَ ، وَ أَنْتِ ، وَ أَنْتُمَا ، وَ أَنْتُمْ، وَ أَنْتُنَّ . هُوَ : أنْ، وَ الْتَاءُ حَرْفُ خِطَابٍ، وَنَسَبَ هَذَا الْقَوْلُ إلَىالْجُمْهُوْرِ.
يُنْظَرُ : الْمُغْنِيٌّ ص ( ٤۱) . وَالضَمِيْرُ فِيْ هُمَا، وَ هُمْ،وَ هُنَّ الْهَاءُ فَقَطْ.
Ini salah satu pendapat:
Ibnu Hisyam, mengatakan bahwa, dhamir yang ada dalam dhamir أنْتَ ، أَنْتِ ، أَنْتُمَا ، أَنْتُمْ، أَنْتُنَّ, adalah أنْ saja.
Jadi أنْتَ ، أَنْتِ ، أَنْتُمَا ، أَنْتُمْ، أَنْتُنَّ , yang dhamir itu أنْ saja. Adapun تَ ،تِ ،تُمَا ،تُمْ، تُنَّ , merupakan huruf khithab.
●●Huruf khitab itu adalah huruf yang disesuaikan dengan yang diajak bicara.
Kenapa kalau kata ganti untuk orang kedua tunggal, تَ?
>> Karena khitab untuk orang kedua tunggal laki-laki adalah تَ ,kalau wanita, تِ , kalau dua, تُمَا, kalau banyak, تُمْ , kalau wanita تُنَّ .
وَنَسَبَ هَذَا الْقَوْلُ إلَى الْجُمْهُوْرِ. يَنْظُرُ : الْمُغْنَيٌّ ص ( ٤۱) .
Dan Ibnu Hisyam, menisbatkan perkataannya yang ini, kepada pendapat jumhur. Ini bisa dilihat dalam Kitab Al Mughni, halaman 41.
وَالضَمِيْرُ فِيْ هُمَا، وَ هُمْ،وَ هُنَّ الْهَاءُ فَقَطْ
Adapun dhamir pada هُمَا، هُمْ، هُنَّ, adalah ha’nya saja
Karena memang salah satu cara ngi’rab dhamir, هُمَا، هُمْ، هُنَّ, misalkan هُمْ itu yang menjadi dhamir ha-nya saja, adapun mim-nya
عَلَامَةُ الجَمعِ الذُّكُورِ
Tanda jamak mudzakkar.
Adapun هُنَّ
Dhamirnya ha-nya saja. Adapun nun-nya
عَلَامَةُ الجَمعِ الإنَاثِ
Tapi ini untuk yang sudah paham betul cara meng’irab.
Kita boleh saja mengi’rab secara keseluruhan, kita katakan:
هُمْ: مَبْنِيٌّ عَلَى السُّكُونِ
Tapi boleh juga kita pisah
●Ha-nya dhamir
●Lalu kita katakan
وَالمِيمُ عَلَامَةُ الجَمعِ
Dan memang yang lebih ahsan, yang lebih afdhal, cara yang kedua ya, yaitu cara yang mendetailkan.
هُمَا
Kita pisahkan antara ha dan maa
Tapi untuk dhamir أنْتَ ، أَنْتِ ، أَنْتُمَا ، أَنْتُمْ، أَنْتُنَّ , yang lebih afdhal adalah tidak dipisahkan.
أنْتَ
Yg di’irab, أنْتَ tidak dipisahkan antara أنْ dan تَ
Thayyib..
Ini yang saya dapati dari guru-guru saya.
Kita cukupkan sampai disini, karena sudah cukup panjang. Insya Allah untuk macam² khabar kita akan bahas di audio yang selanjutnya.
Semoga bermanfaat.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
سبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈┈┈•✿❁✿••✿❁✿•┈┈┈┈•
Langganan:
Postingan (Atom)